Ketikan Pinggir 14 Januari 2010.
Pancasila tidaklah diciptakan, melainkan digali. Mungkin fakta ini sudah kita ketahui melalui pelajaran Sejarah ataupun Pancasila sewaktu sekolah menengah. Mungkin juga kita sekedar tahu fakta tersebut, tanpa memahami makna lebih lanjutnya. Berdasar dari sana, maka Pancasila sama dengan umbi-umbian dalam dua hal: merupakan hasil dari jerih payah, dan bisa diolah lebih jauh lagi.
Jika umbi-umbian merupakan jerih payah petani, maka Pancasila adalah hasil jerih payah sejarah bangsa ini sendiri. Jika umbi-umbian setelah digali akan diolah untuk memiliki nilai guna lebih, demikian pula hendaknya Pancasila. Ia tak butuh di’sakti’-kan, ia tak butuh di-‘mulia’-kan. Sama seperti umbi-umbian, Pancasila merupakan dari, oleh, dan untuk rakyat itu sendiri.
Kesalahan fatal memaknai Pancasila terjadi di zaman Orde Baru. Pancasila dimuliakan, disaktikan, diluruskan, dan dilindungi sedemikian rupa hingga tafsir penguasa lah yang dianggap paling benar. Hal ini membuat banyak orang menjadi fanatik akan Pancasila, dan menganggap tabu, bahkan haram, untuk merevisi Pancasila.
Semua sila dalam Pancasila sejatinya baik dan benar, tidak ada yang membantah. Akan tetapi apa penting kita memiliki Pancasila yang dihormati sebatas simbol belaka tanpa pengamalan dan pengimplementasian? Apa masih ada jiwa Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari?
Mari kita tilik kelima sila tersebut. Pertama, KeTuhanan yang Maha Esa. Hingga detik ini, persatuan dan toleransi antar umat beragama masih belum pantas diacungi jempol. Masing-masing agama sendiri, terutama yang mengusung konsep keTuhanan, belum mampu menghasilkan umat yang berbudi luhur. Bahkan tak sedikit yang menelikung sila pertama ini menjadi “Tuhan-ku yang paling Esa”. Belum lagi Pejabat korupsi, Mahasiswa tawuran, Masyarakat berkonflik, Kriminalitas meningkat, di mana ke-ESA-an Tuhan jika begitu?
Sila berikut membahas mengenai Kemanusiaan yang adil dan beradab. Beradabkah kita, ketika menyumpahserapahi sesama rekan dewan di ruangan negara, disiarkan televisi nasional? Beradabkah kita saling serobot di jalan raya, bahkan tak peduli keselamatan orang lain? Adilkah kita saat tahanan lain berdesak-desakan dalam satu sel, namun kita memiliki sel bak kamar hotel bintang lima?
Sila berikutnya berbunyi: “Persatuan Indonesia!”. Sudah bersatukah kita? Di saat masing-masing partai mengusung negara utopia sendiri. Di saat begitu banyaknya aliansi, kelompok, golongan, ikatan, dan lain sebagainya yang demikian banyak padahal memiliki tujuan yang sama? Juga di saat intra golongan pun harus bentrok dan terjadi perpecahan.
Sila keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Adakah mufakat dan kebijaksanaan ketika yang benar adalah mereka yang berkuasa? Adakah keterwakilan yang benar-benar mewakili rakyat? Omong kosong dengan Dewan Perwakilan Rakyat, mereka adalah Utusan Wakil Partai, dengan kepentingan golongan, dengan tujuan individu.
Sila kelima sekali lagi membahas keadilan: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adilkah bangsa ini ketika mahasiswa berprestasi dibunuh di negeri tetanga tanpa investigasi dan pemberitaan memadai? Juga ketika orang yang kebetulan terkenal mengupdate twitter dengan kata makian, berita itu menghiasi layar televisi berminggu-minggu? Adilkah bangsa ini saat pencuri kakao dan pencuri buah dengan harga di bawah sepuluh ribu rupiah dibui, namun korupsi miliaran bahkan triliunan berlangsung tanpa ada yang diadili? Absurd nian negeri ini.
Jika demikian adanya pengamalan Pancasila di negeri ini, masih sakti-kah Pancasila kita? Jika tidak, harus bermuram durjakah kita memandang kondisi bangsa ini? Tidak juga. Setidaknya kita bisa bersyukur atas satu hal: bersyukurlah Pancasila digali saat awal kemerdekaan, bukan saat ini. Bayangkan apa yang bisa dijadikan Pancasila tatkala carut marut persoalan negara tak hentinya menggerus moral bangsa.
Namun bersyukur saja tidak cukup. Kita bisa mulai memaknai dan mengamalkan Pancasila, membangkitkannya kembali. Mulai dari hal-hal kecil, mulai dari diri kita sendiri, mulai dari saat ini. Jikalau generasi ini sudah demikian bebal untuk mengerti makna Pancasila, setidaknya kita bisa mengajarkannya pada anak-cucu kita nantinya. Sehingga muncullah generasi baru yang berjiwa Pancasila, yang mampu menahkodai lagi bangsa ini ke arah yang benar.
Jakarta, 14 Januari 2010.
Okki Sutanto
(sedikit banyak terinspirasi dari Caping Goenawan Mohammad)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H