Mohon tunggu...
Oki Titi Saputri
Oki Titi Saputri Mohon Tunggu... -

Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 2012 Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Amatiran

4 Januari 2014   12:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:10 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekitar 6.000 Daftar Caleg Sementara (DCS) yang terdaftar di KPU kemarin, menunjukkan keterlibatan banyak kalangan dari masyarakat. Mulai dari  aktifis, politisi (lama-baru), praktisi, PNS, TNI, kepala desa sampai kalangan selebritis semuanya “menginginkan” untuk menjadi pemimpin masa depan dalam mewujudkan demokrasi. Kondisi ini tentunya patut diapresiasi bersama karena terkesan ada kepedulian holistik terhadap karut-marut bangsa yang semakin tidak menemukan solusi.

Keprihatinan terhadap karut-marut persoalan bangsa memang harus segera menemukan solusi. Mengingat setiap lembaga negara sampai ke pelosok desa sudah terkotori kasus-kasus korupsi, kekerasan, intoleransi yang merugikan sehingga menciptakan kesenjangan sosial.  Perlu disepakati, bahwa persoalan bangsa adalah tanggung jawab bersama, meskipun yang bertanggung jawab penuh adalah negara dengan birokrasinya. Pertanyaan sederhananya apakah segala persoalan bangsa akan terselesaikan melalui politik (pemilu)?

Pertanyaan ini lahir karena elit-elit birokratis cenderung menyikapi persoalan politik dari pada menuntaskan kemiskinan, perbudakan buruh , intolernsi agama atau pendidikan yang masih  kacau. Padahal, politik, ekonomi, pendidkan, agama dan sosial menjadi satu-kesatuan yang fungsional (struktural fungsional; Herbert Spencer). Dalam artian, setiap elemen mempunyai fungsi masing-masing yang bertujuan saling melengkapi demi terwujudnya stabilisasi. Sehingga setiap elemen menjadi satu tubuh yang saling terkait satu sama lain.

Ketidakseimbangan antara elemen inilah yang kemudian menempatkan politik sebagai kunci utama untuk menutaskan persoalan Bangsa? Ketidakseimbangan ini didukung penuh oleh elit birokrat dengan tujuan melanggengkan status quo. Sehingga yang terjadi adalah agenda politik mengenyampingkan elemen lainnya.

Fenomena Gadai

Fenomena elit-elit partai politik yang berpindah partai dengan alasan perbedaan ideologis bahkan mendirikan partai (organisasi) baru adalah fakta riil dunia (pragmatisme) politik. Perpindahan dari partai ke partai lain bukan merupakan contoh baik yang mencerminkan politik demokrasi meskipun dengan alasan perbedaan ideologis. Justru dengan perbedaan itulah, partai politik diuji seberapa kuat tingak kesolidan dalam mengahadapi permasalahan intern. Namun, perbedaan ideologi dijadikan jalan licin elit (tersingkir) untuk lebih leluasa memperoleh dan mempertahkan kekuasaanya.

Menariknya lagi (meskipun bukan fenomena baru) adalah banyaknya selebritis yang mencalonkan diri menjadi calon legislatif. Ini boleh-boleh saja karena selebritis juga bagian dari warga Indonesia yang sama-sama mempunyai hak untuk mencalonkan diri menjadi calon legislatif. Paradoksal menanggapi kedatangan selebritis di dunia politik pun berhamburan dengan masing-masing alasan yang relevan. Ada yang menolak dan ada yang mendukung. Anggapan pertama, kemampuan selebritis untuk menjadi pemimpin tidak didukung oleh lingkungannya. Anggapan bahwa selebriti glomour, fashionable, rumah tangga hancur memang merupakan bagian hidup selebritis yang tak terpisahkan. Kedua, selebritis diharapkan mengubah paradigma masyarakat terkait dinamika politik yang nepotis dan koruptif. Pasalnya, elit-elit politik lama yang berada di dunia politik sudah menjauhi amanat rakyat.

Fenomenana ini mengindikasikan transaksional yang terjalin mulus antara selebritis dan partai politik. Artinya, selebritis membutuhkan kendaraan untuk maju menjadi calon legislatif (pekerjaan baru) dan partai politik membutuhkan wajah baru untuk mendulang suara (vote getter). Mengingat selebritis adalah sosok figural yang sudah tidak dikhawatirkan kepopulerannya dan partai politik (hari ini) sedang mengalami degradasi kepercayaan.

Komisi Pemilihan Umum melalui media cetak menginformasikan banyak calon legislatif ganda. Di Yogyakarta ada sekitar 80% caleg ganda. Pihak KPU Yogyakarta melaporkan, ada bebarapa caleg mendaftarkan diri di dua tempat yang berbeda. Mengacu kepada peraturan KPU No 7 Tahun 2013, caleg memang tidak diharuskan berasal dari daerah domisili. Tapi calon legislatif hanya diwajibkan memiliki identitas Warga Negara Indonesia (WNI). Calon ganda bisa disebabkan kelalaian rekrutmen partai dan memang serakahnya calon legislator untuk menduduki posisi strategis.

Dari fenomena di atas menjelaskan signifikansi keberadaan politik untuk menciptakan pemimpin yang berdaulat hanyalah sebatas kompetesi merebut jabatan. Melihat partai politik dalam rekrutmen kader yang pragmatis, politik transaksional menjadi pilihan akhir untuk menjaga eksistensi partai di medan politik. Terlebih calon-calon legislatif yang mengagung-angunkan jabatan dengan menempuh berbagai cara untuk mendapatkannya. Kajian kritis rekrutmen kader untuk dijadikan sosok pemimpin yang berdaulat hanyalah normatif belaka. Yang terpenting adalah tidak ada yang dirugikan antara partai dan calon yang diusung.

Sehingga proses pencarian calon legislatif selanjutnya partai cukup membuka ruang selebar-lebanya untuk kader yang sesuai dengan “syarat” partai. Konsekuensinya adalah partai politik kehilangan ideologinya, SDM partai menjadi buruk dan lemahnya penegakan institusionalisasi partai yang mengakibatkan sistem oligarki partai.

Peran yang Diselewengkan

Zyl Slabbert berpendapat bahwa politik adalah “aktivitas yang beradab” dengan mana orang-orang yang memiliki beragam kepentingan dan pandangan dalam masyarakat yang heterogen, bernegosiasi melintasi segala perbedaan untuk menyelesaikan masalah dan hidup dalam keberagaman. (Darmawan Triwibowo, dkk; Gerakan Sosial).

Pendefinisian peran politik yang dipaparkan Zyl sudah mengalami penyimpangan-penyimpangan di Indonesia (contoh di atas). Politik bukan lagi dijadikan alat pemersatu dari setiap perbedaan, tapi politik dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan guna mendapatkan kekuasaan absolut (Machievelli; The Prince). Melalui cara-cara yang ditempuh partai politik dan elit-elitnya yang cendrung pragmatis menjelaskan adanya ketidakseuaian peran politik yang ideal.

Penyimpangan peran politik juga menjelaskan adanya kekeringan kesadaran dari elit-elit partai untuk mewujudkan demokrasi. Penyimpangan-penyimpangan politik yang sudah dijelaskan diatas seolah sudah mejadi kebutuhan yang harus dipenuhi guna mempertahankan eksistensi partai. Peran politik yang seharusnya menciptakan aktivitas beradab menjadi kegiatan biadab manusia atau oknum untuk menjadi penguasa manusia lainnya. Bukan hal yang tidak mungkin, korupsi (tingkat birokrasi) dan kekerasan, intoleransi agama, perbudakan (masyarakat) akan menjadi budaya baru Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun