Mohon tunggu...
Oki lukito
Oki lukito Mohon Tunggu... -

Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan, Sekertaris Eksekutif Dewan Maritim Jawa Timur, Staf ahli Bappeda Jatim, Pendiri Yayasan Laut Biru, Pengurus Kadin Surabaya, Pengurus DPD.HNSI Jatim, Regional Economic Maritime Institute (REMI) Owner CV. Bahari Jaya Utama (usaha budidaya laut, film dokumentasi maritim) Member Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir (HAPPI) Jawa Timur Buku : Di Laut Kita (belum) Jaya. Published Thn 2005 Laut Sebagai Jembatan (editing)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan (Lagi) Sakiti Nelayan

15 April 2012   10:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:35 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sayangnya, pengadaan kapal bantuan untuk nelayan tak diimbangi dengan melestarikan sumber daya ikan. Degradasi sumber daya ikan terbukti menyebabkan banyak kapal tuna memilih parkir daripada melaut.

Sebagai ilustrasi, 15 tahun lalu, hook rate kapal longline dengan 100 mata pancing adalah lima ekor ikan tuna. Saat ini per 1.000 mata pancing dengan umpan tiruan atau ikan bandeng hanya diperoleh tiga ekor ikan tuna seberat 50-70 kg per ekor seharga Rp 30.000-Rp 35.000 per kg.

Dua tahun lalu, pemerintah mencanangkan penggunaan gas sebagai pengganti solar dan bensin untuk perahu nelayan tradisional. Di Pelabuhan Lekok, Kabupaten Pasuruan, misalnya, 250 tabung berisi compressed natural gas dibagikan kepada nelayan tradisional. Asumsinya mampu menghemat 10-16 persen biaya operasional. Ternyata kini tabung gas hanya jadi pajangan di rumah nelayan. Sebagian bahkan terpaksa dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain tidak mempunyai stasiun pompa gas, pasokan gas tidak dikirim rutin dan akhirnya terhenti sama sekali dengan berbagai alasan. Nelayan kembali melaut menggunakan solar atau bensin di tengah cuaca ekstrem dan hasil tangkapan yang tidak pasti pula.

Dipersulit birokrasi

Birokrasi juga ikut andil mempersulit nelayan dalam hal perizinan. Sangat disesalkan, terjadi dualisme dan diskriminasi dalam pengurusan izin kapal. Akibat berbelitnya prosedur perizinan, nelayan cenderung diperlakukan sebagai sapi perahan.

Administratur pelabuhan di bawah Kementerian Kelautan dan Perhubungan mewajibkan kapal nelayan memiliki surat ukur kapal, pas tahunan, sertifikat kelaikan dan pengawakan. Namun, tak semua lokasi tempat pendaratan ikan dilengkapi fasilitas tersebut sehingga nelayan bersama kapalnya harus menempuh ratusan kilometer—tentu dengan biaya tidak sedikit—untuk mendapatkan sertifikat laik laut.

Biaya ini belum termasuk ongkos administrasi pengurusan di luar ketentuan yang mencapai puluhan kali lipat. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan masih mewajibkan pula perahu nelayan mengantongi surat izin usaha perikanan (SIUP) dan izin penangkapan (SIPI/SIKPI). Nelayan harus memilikinya agar kapal tidak ditangkap saat melaut karena dianggap ilegal.

Di negeri bahari ini profesi nelayan makin tak diminati karena sarat ketakpastian dan kental nuansa kemiskinan. Warisan budaya bahari yang jadi entitas bangsa Indonesia sejak zaman keemasan Sriwijaya dan Majapahit lambat laun memudar sinarnya dan nyaris tenggelam bukan oleh ganasnya gelombang.

Kebijakan pemerintah yang setengah hati memihak masyarakat pesisir jadi salah satu faktor terpuruknya budaya bahari. Nelayan diteror isu kenaikan harga BBM, harga bahan pokok, pencemaran laut, konflik, perusakan ekosistem pesisir, serta semakin maraknya penangkapan ikan secara ilegal. Perlahan tetapi pasti, kondisi itu menggerus kehidupan nelayan yang setia menekuni kearifan budaya bahari. Opini Kompas 11 April 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun