Mohon tunggu...
Oki lukito
Oki lukito Mohon Tunggu... -

Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan, Sekertaris Eksekutif Dewan Maritim Jawa Timur, Staf ahli Bappeda Jatim, Pendiri Yayasan Laut Biru, Pengurus Kadin Surabaya, Pengurus DPD.HNSI Jatim, Regional Economic Maritime Institute (REMI) Owner CV. Bahari Jaya Utama (usaha budidaya laut, film dokumentasi maritim) Member Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir (HAPPI) Jawa Timur Buku : Di Laut Kita (belum) Jaya. Published Thn 2005 Laut Sebagai Jembatan (editing)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan (Lagi) Sakiti Nelayan

15 April 2012   10:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:35 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akibat isu kenaikan harga BBM yang digulirkan pemerintah sejak sebulan terakhir, masyarakat pesisir di sejumlah daerah dan nelayan di pulau-pulau kecil harus ikut menanggung derita.

Harga solar dan bensin meroket di atas Rp 7.000 per liter, bahkan di Sumenep sempat menyentuh Rp 16.000 per liter. Bersama merebaknya isu tersebut, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) juga terjadi di sejumlah daerah pesisir lainnya. Harga komoditas sembilan bahan pokok—termasuk gas elpiji—pun melambung 25-30 persen.

Seusai mengamati Sidang Paripurna DPR yang merevisi UU Migas, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai nakhoda kapal RI pilihan rakyat tidak sempat meminta maaf atas keresahan masyarakat di pesisir. Isu sentral perekonomian nasional yang digulirkan menjelang bulan April telah membuat keluarga nelayan meradang. Tak terhitung kerugian materi dan kedongkolan nelayan akibat tidak bisa melaut karena harga eceran BBM di atas harga kewajaran.

Kita patut mengapresiasi kejujuran SBY bahwa selama menjabat sebagai presiden, harga BBM naik sebanyak tiga kali dan harga BBM turun tiga kali pula. Akan tetapi, perlu dicatat, dihapusnya harga subsidi minyak tanah yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat miskin sangat menyakitkan perasaan nelayan. Untuk menyiasati mahalnya solar dan bensin, minyak tanah terpaksa dicampur oli untuk digunakan melaut agar mesin kapal irit dan ekonomis.

”Jauh layar dari tiang”

Minyak tanah sangat dibutuhkan keluarga nelayan di rumah ataupun di atas kapal untuk menanak nasi, menjerang air, menggoreng ikan hasil tangkapan. Pak SBY yang lahir di kota pesisir Pacitan, Jawa Timur, tentunya lebih paham betapa susahnya hidup keluarga nelayan, apalagi tanpa kehadiran minyak tanah.

Sekadar mengingatkan, nelayan tradisional Pacitan menggunakan biduk bercadik untuk menerjang Samudra Indonesia, dan setiap hari bertaruh nyawa demi menghidupi keluarganya. Bedanya, dulu ikan masih mudah ditangkap di tepi pantai Teluk Teleng, tidak jauh dari rumah tempat SBY dilahirkan.

Naik-tidaknya harga BBM, bagaimanapun, tetap akan menyulitkan kehidupan nelayan; mereka yang di laut dimainkan gelombang, di darat jadi bulan-bulanan tengkulak. Banyak program pemerintah diklaim menyejahterakan nelayan. Sebutlah seperti pengadaan seribu kapal hibah dan program konversi BBM ke bahan bakar gas. Akan tetapi, program tersebut ibarat jauh layar dari tiangnya.

Simak pengadaan kapal nelayan 30 GT seharga Rp 1,5 miliar per unit. Menurut kalkulasi di atas kertas, setiap kapal dengan jaring purse seine atau payang dalam satu trip (tujuh hari) diyakini mampu menghasilkan empat ton ikan. Biaya melaut kapal dengan menggunakan marine engine 173 PK butuh Rp 40 juta-Rp 60 juta, sedangkan hasilnya bisa mencapai Rp 80 juta.

Kelompok nelayan kurang mampu harus menggandeng mitra yang bersedia memodali usaha melaut. Sistem keuntungan pun diterapkan bagi hasil dengan pemilik modal. Sisanya dibagi dengan anak buah kapal (ABK). Jika hasil tangkapan tak mampu menutup biaya operasional, hal itu akan menjadi beban kelompok. Tentu menjadi sangat ironis jika pada akhirnya kapal tersebut disita oleh pemilik modal akibat akumulasi utang kelompok yang tak mampu memenuhi kesepakatan kuota hasil tangkapan.

Bagi kelompok nelayan mandiri, modal melaut tak jadi masalah. Hasil tangkapan dibagi dengan 25 anggota kelompok yang merangkap ABK. Rata-rata setiap nelayan memperoleh Rp 30.000-Rp 50.000 per hari, berikut bonus jika mendapat ikan lebih dari yang ditargetkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun