Suatu malam, seorang kawan telepon sambil menangis sesenggukan. Dia cerita kalau dia merasa tidak becus bekerja belakangan ini. Aku heran. Karena kawan satu ini termasuk karyawan andalan di kantornya. Tapi dia malah sedih saat diandalkan.
Usut punya usut, ternyata akar masalahnya adalah karena berjibunnya tugas yang dia kerjakan. Bosnya memberi dia banyak tugas penting akhir-akhir ini. Kawanku ini kacau. Merasa heran sendiri kenapa harus dia yang, menurutnya, biasa saja tapi diberi tanggung jawab penting dan besar.
Biasanya, orang cenderung senang mendapat tanggung jawab besar. Apalagi langsung dari atasan. Lumayan, bisa jadi jalan buat naik pangkat. Atau naik pamor lah minimal. Tapi temanku justru tidak senang.
Dia bilang tidak suka bosnya menaruh ekspektasi besar ke dia. Dan lagi katanya, dia cuma mau jadi karyawan biasa-biasa saja. Dengan tugas standar dan nggak usah terlihat keren banget di mata bosnya.
Fenomena temanku ini aneh. Saat kugali-gali ternyata alasannya dia takut menjadi berambisi. Itulah kenapa dia mau jadi biasa biasa saja.
Ya, dalam kehidupan dengan persaingan dan proses sikut-sikutan yang makin keras, keinginan menjadi biasa-biasa saja ini aneh. Orang belakangan justru berlomba supaya jadi yang paling hebat. Apalagi di lingkup pekerjaan.
Belum lagi, video motivasi untuk jadi sukses, hebat, dan menonjol juga kian bertebaran di internet. Hingga kelas online untuk jadi karyawan dengan skill hebat pun mulai menjamur. Tapi, di tengah arus informasi dan model upgrade diri untuk jadi wow, ada kaum-kaum yang ingin menjadi biasa-biasa saja. Kaum-kaum "aku mah apa atuh~".
Kawanku ini hanya satu contoh. Tapi saat kuperhatikan lagi, ternyata banyak juga mereka yang hanya ingin menjadi biasa dalam hidupnya. Tidak butuh jadi super.
Lalu, apakah ini salah?
Mungkin fenomenanya mirip (Mantan) Pangeran Harry dan Meghan Markle. Ya, keduanya memilih jadi orang biasa dan meninggalkan gelar dan tetek bengek keuntungan menjadi anggota keluarga kerajaan.Â
Dan memang nyata adanya, bahwa ada orang-orang yang memilih jadi biasa untuk alasan ketenangan, kenyamanan, atau entahlah. Kalau dalam kasus Harry dan Meghan tentunya demi ketenangan batin yang selama ini sempat dibuat bergejolak oleh media mainstream Inggris.
Namun menjadi biasa-biasa saja, sepertinya mampu jadi solusi untuk istirahat dari pertempuran hidup yang menguras emosi dan energi. Ya, menjadi biasa-biasa saja bukan hal yang memalukan. Tak semua orang ingin divalidasi sebagai seorang pemenang.
Kawanku, atau Harry-Meghan mungkin memilih jadi biasa-biasa saja. Tapi mungkin ada juga mereka yang tidak memilih, tapi ya hidupnya memang biasa-biasa saja.Â
Mereka yang merasa tidak pernah muncul ke permukaan. Mereka yang (dianggap) tidak punya peran sebesar orang-orang luar biasa. Mereka yang kalau kerja kelompok nggak pernah jadi ketua. Mereka yang dalam dunia kerja tidak pernah memimpin satu proyek pun. Mereka, yang andaikan menghilang, posisinya akan mudah dan cepat untuk digantikan.
Pepatah bilang, orang bodoh ada karena keberadaan mereka yang lebih tidak bodoh alias pintar. Jika ditarik ke konsep orang biasa-biasa saja, hal ini juga karena keberadaan kaum yang lebih tidak biasa. Entah secara prestasi ataupun sensasi.
Meski begitu, menjadi biasa-biasa saja tidak salah dan tidak memalukan. Dan bukan berarti menjadi kaum yang kurang wow seolah tidak punya pencapaian. Menjadi hebat dan menang tidak selalu jadi ambisi dan cita-cita setiap orang.Â
Selalu ada mereka, yang lebih bercita-cita jadi biasa, aman, dan tentram meski kehadirannya dianggap cuma numpang lewat. Tidak apa-apa kalau hidupmu hanya biasa-biasa saja, tapi semoga cintamu yang luar biasa... Hiyaaa-hiyaaaa...
Meskipun kamu biasa bagi dunia, toh kamu tetaplah pusat semesta bagi kehidupanmu sendiri. Yang sekali lagi, kehidupanmu yang biasa itu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H