Mohon tunggu...
Oki Hajiansyah Wahab
Oki Hajiansyah Wahab Mohon Tunggu... -

www.indepthpublishing.org\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud featured

Warga Bahagia karena Taman Kota

26 September 2015   01:40 Diperbarui: 22 Agustus 2020   08:45 1667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membincang Kota Metro,Lampung menarik bukan hanya karena kita bermukim dan menjadi penghuni kota yang sejuk dan bersahabat ini, namun karena Kota Metro memang memiliki kekhasan sendiri. 

Kota kecil yang letaknya 52 Km dari ibukota Provinsi ini luasnya hanya berkisar 68,74 km,terdiri dari 5 kecamatan dan 22 kelurahan dan dihuni oleh hanya sekitar 150 ribuan orang.

Di Metro,tempat penulis menetap, hilir-mudik kendaraan masih relatif lancar, banjir masih bisa dilokalisir, kebakaran karena padatnya pemukiman juga masih teratasi,pohon-pohon masih tertata rapi dan yang pasti adalah angka harapan hidupnya yang tinggi. 

Sejarah panjang Kota Metro telah mengantarkan wilayah yang dulunya hanyalah bedeng perlahan bermetamorfosis menjadi sebuah kota. Kini Metro telah bertransformasi menjadi sebuah wilayah dengan pusat konsentrasi penduduk dengan segala aspek kehidupannya.

Menurut hemat penulis, saat ini, Kota Metro belum sepenuhnya menghadapi masalah-masalah mendasar, terkait semrawutnya penataan wajah kota dibandingkan dengan kota-kota lain. 

Menyempitnya lahan perkotaan akibat laju pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, menjadi fenomena sosial masyarakat perkotaan yang tersegmentasi baik secara fisik maupun sosial.

Kota ideal dan berkelanjutan sendiri menurut Urban Regional Development Institute (URDI) paling tidak menggambarkan; visi, misi dan strategi jangka panjang yang partisipatif; integrasi pertumbuhan ekonomi dengan upaya perwujudan sosial dan kelestarian lingkungan, memberikan rasa aman bagi warganya, dan terciptanya ruang yang bisa melahirkan masyarakat belajar yang dicirikan dengan perbaikan terus menerus.

Senada, penelitian dari University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat menyatakan bahwa terdapat hubungan antara ketersediaan ruang terbuka hijau dan tingkat kesehatan mental penduduknya. 

Penelitian yang dipublikasikan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health menyimpulkan bahwa penduduk yang tinggal di lokasi yang memiliki lebih banyak pohon cenderung lebih bahagia.

Gambaran tersebut, setidaknya menegaskan bahwa membangun masa depan kota, bukan semata soal membangun keramaian, pusat-pusat belanja dan kepadatan serta hilir-mudik manusia, namun membangun kota berarti juga membangun manusia, mentalitas dan kepribadiannya, sehingga kota tidak diisi oleh orang-orang yang justeru teralienasi dari lingkungannya.

Beruntung di Kota Metro, ruang publik yang hijau terus tumbuh dan warganya dari waktu ke waktu semakin memaknai kehadiran ruang publik. Kota Metro sendiri kini memiliki ruang publik yang banyak, yang memang ditata dan didesain secara khusus diantaranya Taman Merdeka di Pusat Kota, Taman Demokrasi di Kelurahan Ganjar, Taman Mulyojati, Taman Induk Terminal, dan Taman Pendidikan Ki Hajar Dewantara di Keluruhan Iringmulyo. 

Meski semuanya belum berfungsi maksimal, persepektif pentingnya ruang publik bagi warganya semakindisadari oleh pemerintah.

Taman Merdeka, Ruang Publik Segala 'Kasta'

Salah satu ruang publik yang menjadi ikon Kota Metro adalah Lapangan Taman Merdeka. Ruang publik yang dibangun menyatu dengan bangunan masjid, pusat pemerintahan, dan rumah dinas wali kota. Letaknya di jantung kota menjadikan Taman Merdeka sebagai kebanggaan masyarakat Metro.

Taman Kota Metro merupakan ruang publik khas ruang publik yang dibangun di era pemerintahan kolonial Belanda. Konsepnya tak jauh berbeda dengan alun-alun yang biasanya ada di kota-kota di Pulau Jawa: ada lapangan besar (alun-alun), pusat pemerintahan, masjid, dan rumah dinas kepala daerah.

Bedannya, alun-alun di Pulau Jawa kerap diidentifikasi sebagai simbol kekuasaan, Taman Kota Metro justru menegaskan mencairnya simbol kekuasaan. Warga dari berbagai strata bisa menikmati Lapangan Taman Kota bersama-sama. 

Pada Minggu pagi, misalnya, Wali Kota Metro dan para pejabat daerah dengan pakaian olahraga bisa berolahraga, sementara di sudut lain warga juga bisa jogging atau duduk-duduk sambil menikmati makanan.

(Taman Merdeka, icon kebanggan Warga Metro]
(Taman Merdeka, icon kebanggan Warga Metro]
Setiap pagi dan sore, warga dari berbagai kalangan tidak sekadar bisa menikmati udara segar, tetapi juga melakukan pelbagai aktivitas. Misalnya senam, berdiskusi, bahkan untuk sekadar cuci mata sambil menikmati aneka  jajanan. Anak-anak pun bisa bebas bermain di lapangan atau naik odong-odong.

 Selain itu, aktifitas bersama antara pemerintah dan masyarakat yang senantiasa dilakukan mampu meningkatkan keakraban antar keduanya. Misalnya makan bersama, jalan sehat, antara pejabat dan masyarakat. 

Kegiatan tersebut seolah sepele, namun sangat berkesan bagi masyarakat marginal. Mereka, kaum papa merasa dimanusiakan sebagai seorang manusia.

[Warga dari Berbagai Kalangan di Taman Merdeka)
[Warga dari Berbagai Kalangan di Taman Merdeka)
Ruang publik di Kota Metro perlahan mulai difungsikan dengan berbagai aktifitas oleh warga, dari berbagai kalangan usia, dan strata ekonomi. Kegiatan beladiri, senam lansia, diskusi, pemutaran film, pemaran foto, bermusik hingga melakukan aktifitas ekonomi dengan tetap menjaga kenyamanan, ketertiban, keindahan dan kebersihan taman. 

Dengan demikian ruang publik menjadi ruang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum dari berbagai kalangan sepanjang waktu, tanpa dipungut bayaran (Danisworo, 2004).

[Taman Kota digunakan untuk menampilkan kreativitas]
[Taman Kota digunakan untuk menampilkan kreativitas]
Di sisi lain juga telah mulai tumbuh kesadaran warga untuk menjaga kebersihan Taman Merdeka sebagai ruang publik kebanggan Warga Metro. Gerakan Pungut Sampah acap dilakukan oleh berbagai komunitas. 

Hal ini menandakan bahwa kesadaran pengelolaan ruang publik adalah tanggung jawab bersama, bukan semata tanggung jawab pemerintah.

[Gerakan Pungut Sampah acap dilakukan di Taman Merdeka]
[Gerakan Pungut Sampah acap dilakukan di Taman Merdeka]
Merefeleksikan kehadiran dan fungsi Taman Merdeka mengingatkan penulis pada enam indikator ruang publik yangf baik atau Good Public Space Index. 

Enam indikator tersebut adalah The Intensity of Use (Jumlah orang yang terlibat dalam aktivitas), The Intensity of Social Use (Jumlah orang yang dalam kelompok), People Duration`s of Stay (Waktu yang dipergunakan dalam melaksanakan aktivitas), Temporary Diversity of Use (Penggunaan ruang), Variety of Use (Jumlah tipe aktivitas yangterlibat), Diversity if Users (Keberagaman karakteristik pengguna ruang-gender dan usia).

Kedepan penulis meyakini berbagai pihak mulai dari pemerintah kota, swasta, perguruan tinggi dapat berkolaborasi untuk mendorong optimalisasi Taman Merdeka sebagai ruang publik kebanggan warga Kota dan juga taman-taman lainnya yang ada di Kota Metro. Peningkatan fasilitas, gelaran even-even kreatif akan mendorong Metro menjadi kota yang semakin berbudaya.

Partisipasi, Nalar Publik dan Kreativitas

Kota Metro sejatinya telah memiliki banyak ruang pubik seperti taman-taman kota, mesti dimaknai oleh warga kota Metro sebagai ruang yang mengandung fungsi sosial dan kultural sebagai dasar penguatan sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam melakukan proses pembangunan.

Partisipasi warga menjadi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan fungsi-fungsi ruang publik tersebut sebagai sarana belajar dan berkreatifitas warga kota.

Taman-taman kota yang ada di Metro sudah saatnya kembali diaktifkan sebagai ruang publik yang tak hanya berfungsi sebagai sarana estetika semata melainkan juga sebagai ruang kreatifitas berbagai komunitas.

[Musisi Lokal Meramaikan Taman Merdeka]
[Musisi Lokal Meramaikan Taman Merdeka]
Ruang publik seperti taman kota, lapangan dan tempat- tempat terbuka lainnya harapannya menjadi rumah bersama yang mampu mendorong imajinasi para pekerja kreatif yang terdiri dari para ilmuan, tenaga ahli yang mengabdi di pusat-pusat pendidikan dan penelitian, arsitek, dan mereka yang bergerak di bidang kebudayaan.

Belakangan ruang-ruang publik di Kota Metro perlahan juga berfungsi menjadi medium komunikasi. Lewat Ruang publik warga dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.dengan demikian ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, membangun nalar publik, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika kota.

Pada gilirannya, ruang publik ini akhirnya secara otomatis membangunnalar publik yang memungkinkan untuk meminimalisir kegaduhan-kegaduhan karena isu ketidakadilan dan diskriminasi, adanya jarak antara yang empunya dengan yang papa, antara kelas elit dan alit. Ruang publik telah berfungsi sebagai rumah bersama yang melahirkan nalar publik dan kreatifitas untuk menjembatani kesenjangan hingga akhirnya semua bisa bersinergi.

Ruang publik sebagai rumah bersama warga kota, adalah ruang publik yang menjadi tempat berinteraksi dan akhirnya melahirkan nalar publik. Warga kota akan menjadi para pekerja produktif dan pekerja kreatif, dan akhirnya merekalah yang akan merencanakan masa depan kota dan menciptakan pekerjaan,gagasan-gagasan baru, dan kreatifitas. Ruang Publik yang dinamis dipercaya akan melahirkan warga yang kreatif dan dinamis.

[Bedah Buku di Taman Merdeka dihadiri oleh Walikota Metro]
[Bedah Buku di Taman Merdeka dihadiri oleh Walikota Metro]
Richard Florida dalam karyanya  The Rise of the Creative Class, Kota yang kreatif adalah kota yang mampu menanamkan budaya dan memberikan inspirasi ‘kreatif’ di masyarakat’. ‘Kreatif’ itu sendiri merupakan sebuah proses, tidak bisa muncul begitu saja secara instan, dan proses kreatif itu sendiri bisa dari cara melihat, cara berfikir, dan cara bertindak.

Belakangan, Pemerintah kota yang menyadari berbagai keterbatasannya juga mulai menggandeng Komunitas untuk melakukan kerja sama pengelolaan ruang publik lainnya yakni, Taman Ki Hajar Dewantara di kawasan Iring Mulyo Metro Timur. 

Kesepakatan kerja sama Pemkot Metro dengan Komunitas sendiri dilakukan pada momentum peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun 2015 di Kota Metro, bulan Mei lalu. Wali Kota Metro Lukman Hakim saat itu mengatakan bahwa kolaborasi ini adalah jawaban atas kritik yang ditujukan kepada Pemkot Metro terkait terbengkalainya Taman Pendidikan.

[Mou Pengelolaan Taman Ki Hajar Dewantara Antara Pemkot Metro dan Komunitas]
[Mou Pengelolaan Taman Ki Hajar Dewantara Antara Pemkot Metro dan Komunitas]
Pada akhirnya semakin disadari oleh berbagai kalangan bahwa ruang publik sebagai rumah bersama adalah upaya untuk mendorong bahwa kota dan warganya saling berinteraksi dengan dinamis. Ruang-ruang publik dikota harapannya dapat menjadi muara bagi imajinasi dan ekspresi kreatif.

Ruang Publik dan Indeks Kebahagiaan

Menurut berbagai studi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lembaga penelitian, negara-negara yang memiliki indeks perdamaian, kebebasan, pendidikan berkualitas, kesehatan berkualitas, serta sistem politik yang baik adalah mereka yang masuk dalam daftar negara-negara paling bahagia di dunia. 

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) misalnya. Organisasi internasional yang mewadahi negara-negara maju di dunia misalnya yang telah meneliti tentang negara-negara paling bahagia sejak awal tahun 2000-an. OECD mengacu pada indikator seperti pendapatan dan kekayaan negara, hingga keterbilatan masyarakat di berbagai bidang di suatu negara. 

Selain itu, indikator sebuah negara yang bahagia adalah kualitas lingkungan, keamanan, kepuasan hidup dan tentu saja kualitas pendidikan dan kesehatan yang baik. Mengikuti indikator ini Indonesia tentu tak masuk dalam 10 besar negara palig bahagia.

Berbeda dengan riset OECD, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Global Research Company Ipsos, pada survei yang dirilis pada awal tahun 2014, menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi ke-1 dimana tingkat kebahagiaan masyarakatnya dengan persentase sebesar 55%, lalu diikuti oleh India sebanyak 41%, Mexico 38%, Brazil 33%, Afrika Selatan dan Amerika Serikat sebanyak 26%, dan Kanada sebanyak 24%.

Sedangkan pemeringkatan yang dilakukan oleh Happy Planet Index (HPI), sebuah indeks dari 151 negara di dunia mengungkapkan secara jelas bagian dunia mana yang memberikan kehidupan yang panjang dan bahagia bagi warga negaranya. 

Paramater yang digunakan dalam pengukuran tersebut memang bukan hanya kekayaan, tapi sejauh mana negara tersebut memberikan harapan hidup yang baik, bahagia, jejak ekologis. Hasilnya Indonesia berada di urutan ke-15 negara bahagia.

Dengan demikian kita pasti setuju bahwa ukuran ataupun indikator kebahagiaan tidak semata tergantung dari hal-hal yang berbau materialisme seperti: mengendarai mobil mewah atau memiliki jabatan prestisius. 

Kebahagiaan sendiri yang berasal dari kata Sanskerta, yaitu bhagya yang berarti jatah yang menyenangkan. Dan setiap orang itu memiliki definisi bahagia masing-masing. Bahagia untuk satu orang, tidak berarti bahagia untuk orang lain, begitu juga sebaliknya.

Hal lain yang juga menarik adalah pemerintah Indonesia kini mulai menghitung Indeks Kebahagiaan Nasional dihitung berdasarkan penilaian atas kepuasan masyarakat terhadap 10 aspek kehidupan di antaranya pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keharmonisan keluarga, kondisi keamanan serta kondisi lingkungan.

Hal ini menunjukan adanya suatu perubahan paradigma baru dari pemerintah dalam memandang kinerja serta keberhasilan pembangunan. Selama ini, indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara, selalu didasarkan pada perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) semata yang selama ini selalu menjadi pedoman oleh pemerintah dalam menilai kinerja ekonominya. 

Hal ini menjadi menarik seiring dengan dunia yang tengah mengalami transformasi dari pencapaian tujuan Millenium Development Goal’s (MDG’s) menuju Sustainable Development Goal’s (SDG’s) yang memberikan perhatian besar pada keseimbangan pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Kembali ke Ke Kota Metro, Bulan Februari lalu Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung merilis indeks kebahagiaan warga Lampung tahun 2014 pada posisi 67,92 dari skala 0-100. 

Indeks kebahagiaan diperoleh dari survei pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK) 2014 yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial yaitu, kesehatan,  pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang. Dan hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan serta kondisi keamanan.

Lalu mari kita bandingkan dengan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang biasa dipakai untuk mengukur profil kesejahteraan umum.  Pada tahun 2013 IPM tertinggi di Lampung justru ada di Kota Metro (77.53), meningkat dari tahun sebelumnya sebesar (77,30). IPM Kota Metro sebagai kota kecil mampu mengalahkan Bandar Lampung yang mempunyai skor (77,17). 

Demikian juga dengan angka harapan hidup, Berdasarkan data BPS Lampung 2014 Kota Metro pada tahun 2014 memiliki skor 70,98 mengungguli Bandar Lampung yang meraih skor 70,55. Angka harapan hidup ini juga notabene tertinggi di Provinsi Lampung.

Pertanyaan mendasarnya mengapa IPM Kota Metro yang PDRBnya lebih rendah dari Kota Bandar Lampung bisa mengunguli Bandar lampung yang notabene adalah ibukota Provinsi yang PDRB dan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD) nya jauh lebih besar? 

Menurut hemat penulis, tentu ada banyak faktor dan keberadan banyak taman dan ruang terbuka hijau di Kota Metro ikut menjadi salah satu faktor yang mendorong keunggulan tersebut.

[Keceriaan anak-anak muda di Taman Merdeka]
[Keceriaan anak-anak muda di Taman Merdeka]

Argumen penulis melandaskan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional—2015—2019 yang menekankan pada peningkatan kualitas manusia sebagai tujuan utama pembangunan. Sementara pembangunan infrastruktur dan beragam langkah operasional lain adalah alat, bukan tujuan. (Kompas, 8/1)

Hal senada juga diperkuat dengan hasil riset yang dilakukan Mathew White dari University of Exeter Medical School di Inggris dan dipublikasikan di jurnal Environmental Science and Technology. Riset tersebut menyebutkan orang-orang yang pindah ke daerah yang lebih hijau merasa lebih bahagia.

Tak keliru jika Hari Habitat Sedunia 2015 mengusung tema Ruang Publik Untuk Semua. Sebagaimana dikatakan oleh Nirwono Joga bahwasannya pembangunan berkelanjutan hendaknya ditujukan keterpaduan antara pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan, inklusi sosial masyarakat yang berwawasan lingkungan, dan lingkungan hidup yang lestari.

Kini, sudah sepatutnya pemerintah,sektor swasta, perguruan tinggi dan juga warga kota meningkatkan kepeduliaan dan tidak hanya berorientasi pada peningkatan ekonomi dalam merencakan perkotaan. Tingkat stress masyarakat yang tinggi, seharusnya dibarengi dengan penyediaan sarana rekreasi ruang terbuka hijau bagi warganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun