Pernah mendengar istilah obat off-label atau pernah menggunakannya? Penggunaan off-label pada obat atau off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi, posologi (kajian tentang dosis) dan/atau cara pemberian di luar persetujuan badan atau lembaga yang berwenang atau jika di Indonesia adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menurut beberapa penelitian, penggunaan off-label pada obat telah menjadi masalah di seluruh dunia. Menurut Hanbin Wu dan Gao Wu (2014), peresepan obat di luar label yang disetujui di Amerika Serikat dan banyak negara lainnya adalah legal. Zhang dkk. melaporkan dalam penelitiannya bahwa tujuh negara telah memiliki Undang-Undang terkait penggunaan off-label pada obat yaitu Amerika Serikat, Jerman, Italia, Belanda, Selandia Baru, India, dan Jepang.
Berdasarkan peraturan Food and Drug Administration (FDA) atau lembaga yang berwenang mengawasi keamanan produk Obat dan Makanan di Amerika Serikat, dokter mungkin meresepkan obat untuk penggunaan off-label pada obat, namun produsen obat tidak boleh mempromosikan penggunaan tersebut.
Dilansir dari dari laman media sosial Instagram resmi BPOM @bpom_ri, Jumat (21/07/2023), Penggunaan off-label pada obat dilakukan karena beberapa faktor, seperti:
- Obat tersebut mungkin belum dipelajari dan disetujui untuk populasi tertentu (misalnya pasien anak, geriatri, atau hamil).
- Belum ada obat yang disetujui untuk pengobatan penyakit tersebut.
- Kurangnya respons klinis dari pasien pada pengobatan sebelumnya.
Adapun jenis-jenis penggunaan off-label pada obat, diantaranya:
- Obat digunakan untuk penyakit atau kondisi medis di luar indikasi yang tertera pada brosur atau label obat yang disetujui.
- Obat diberikan dengan cara yang berbeda dari yang tercantum pada izin edar atau label obat yang disetujui.
- Obat diberikan dalam dosis yang berbeda dari yang tercantum pada izin edar dan tidak sesuai dengan keterangan khusus dalam label obat yang disetujui.
- Di Indonesia sendiri, belum ada ketentuan yang mengatur terkait penggunaan off-label pada obat. Namun, beberapa penelitian tentang penggunaan off-label pada obat telah dilakukan, terutama pada anak-anak.
Menurut Setyaningrum, N. dkk (2017) yang melakukan penelitian penggunaan obat off-label pada anak di apotek kota Yogyakarta, diketahui bahwa penggunaan obat off-label pada anak cukup tinggi (21%) sehingga pengawasan terkait risiko penggunaan obat perlu dilakukan.Â
Berdasarkan penelitian Hapsari, R. dkk (2017) tentang penggunaan obat off-label pada pasien anak di salah satu rumah sakit daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat menyimpulkan bahwa terdapat penggunaan obat secara off-label kategori usia dan indikasi pada pasien anak rawat dan rawat inap.
Sedangkan berdasarkan penelitian Putri, I.N. dkk (2021), menyimpulkan bahwa penggunaan obat off-label merupakan faktor risiko terjadinya reaksi obat tidak dikehendaki pada anak.
Keamanan Penggunaan Obat Off-Label
Lalu, bagaimana sebaiknya masyakat menyikapi penggunaan obat off-label dan bagaimana keamanan penggunaan obat off-label tersebut? Berikut himbauan BPOM melalui akun Instagramnya, @bpom_ri pada Jumat (21/07/2023):
- Gunakan obat sesuai dengan indikasi yang disetujui BPOM.
- Pada kondisi tertentu, penggunaan off-label pada obat harus dengan resep dokter serta membandingkan antara risiko dan manfaat penggunaannya.
- Selama penggunaan off-label pada obat, harus di bawah pengawasan dokter.
- Jika terdapat keluhan atau efek samping selama penggunaan off-label pada obat, segera melapor dan konsultasi kepada dokter atau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.
Jadi, masyarakat perlu lebih berhati-hati dan memahami bahwa penggunaan off-label pada obat tidak untuk swamedikasi atau pengobatan sendiri. Yuk, jadi konsumen cerdas dan berdaya, karena keamanan obat adalah tanggung jawab kita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H