Ramadhan hari ke empat,
telah sampai puisimu pada kesunyianku,
sunyi yang harus dilalui sebagai jalan,
jalan takdir seorang Radheya Karna,
yang memilih untuk menjaga sumpah setia.
Ku catat setiap hinaan bukan semata dendam,
Ku rangkum derita dan ngilu garis nasibku,
Ku pelihara dalam bait setiap luka bukan sebagai duka,
tapi sebagai tanda mata, dari Putra Radha,
kepada puan yang telah menggariskan puisi kita,
dalam pupuh Asmarandana.
Puan, aku tak mau, jika mati sebagai tokoh dagelan,
diantar tawa keras para penonton, diiringi tembang dolanan,
lalu ditinggal pulang usai babak “gara-gara” selesai.
Aku ingin bertahan hingga pathet manyura,
mati terhormat sebagai ksatria di medan perang,
merampungkan lakon kekalahan yang telah dituliskan.
Aku tak meminta air mata beraroma cinta dari wanita,
seperti pada kisah-kisah lakonku sebelumnya.
Jika nanti Surtikanthi belum juga datang, maka
sebagai ganti tangis suaranya sayup terdengar ditelingaku,
cukup lantunkan sebait tembang Megatruh,
untuk mengantarku pulang bersama matahari tenggelam.
Puisi kita mekar di bulan puasa,
jagalah agar tak lekas layu hingga saatnya tiba,
saat hari terakhir aku merentangkan busur panah,
hingga akhirnya kalah, rebah ditanah,
ambil secukupnya, untuk kau tabur diatas jasadku,
sambil melantunkan tembang Megatruh,
sementara sisanya simpanlah sebagai kenang-kenangan.
Sebelum matahari Ramadhan ke lima datang,
aku tulis lagi sebuah puisi, sebagai salam hormatku,
kepada Dewa Surya yang memberiku banyak anugerah,
juga untukmu puan pelantun tembang,
yang sekarang menghuni bait-bait baru yang ku tulis,
meski bukan sebagai Surtikanthi.
Surakarta, 30 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H