politik) merekrut para artis untuk menjadi caleg (calon legislatif) sudah sangat masif. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar.
Tren parpol (partaiApabila pencalonan para artis sebagai anggota legislatif hanya didasarkan pada popularitas semata, maka sebenarnya parpol telah menghianati kepercayaan dari masyarakat. Segenap warga masyarakat di negara ini telah memercayakan kaderisasi para politisi bijak dan negarawan sejati kepada parpol.
Bila demi kekuasaan, semua kewarasan ditabrak maka selesai sudah tatanan demokrasi negara ini.
Parpol harus menjaga agar para wakil rakyat yang didudukan di senayan tidak menjadi tempat sampah di mana mereka hanya mendengar keluhan masyarakat tetapi tidak tahu harus berbuat apa untuk mencari solusi untuk keluhan-keluhan tersebut.
Bukankah tempat sampah hanya berfungsi untuk menampung sampah? Kita harapkan para anghota dewan yang terpilih tidak sekedar menjadi tempat sampah. Tetapi mereka harus kreatif mengolah sampah tersebut dan memberi nilai baru kepadanya.Â
Dalam catatan sejarah, gejala para artis terlibat di dalam dunia politik sebenarnya sudah mulai tumbuh sejak Orde Baru.
Meski demikian, keterlibatan mereka kala itu bukan sebagai caleg melainkan sebagai juru kampanye. Para artis dimobilisasi untuk mendongkrak suara partai.
Tempo mencatat bahwa strategi mobilisasi artis ini menghasilkan dua kemenangan sekaligus. Pertama, memenangkan parpol dan kedua, menanamkan benih artis-artis dan grup  kesenian di berbagai daerah.
Saat ini sudah terjadi perubahan yang cukup signifikan. Para artis tidak saja dimobilisasi untuk menjadi juru kampanye, melainkan direkrut untuk menjadi caleg.
Apakah hal ini bertentangan dengan UUD 1945?
Jawabannya adalah UUD 1945 tidak melarang siapapun menjadi caleg sejauh dia adalah warga negara Indonesia. Dalam hal ini tak terkecuali para artis.