Infrastruktur dan digitalisasi di Indonesia belum bisa dirasakan oleh semua masyarakat terutama di pedesaan.
Alasan utamanya adalah perusahaan besar baik itu BUMN mapun swasta malas masuk desa. Sebab kemungkinan desa dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi.
Justru pikiran semacam inlah yang menjadi salah satu penghambat perekonimian Indonesia saat ini.  Hal ini akan  melambatkan pembangunan infrastruktur.
Ketika keadaan infrastruktur di sebuah desa lemah konsekuensinya jelas. Â Perekonomian desa akan berjalan dengan jalan yang tidak efesien karena biaya logistik yang sangat tinggi.
Masyarakat desa yang ekonominya sudah lemah dibuat tambah tidak berdaya oleh keadaan yang tidak memihak kepada mereka.
Satu dua hari yang lalu saya mengunjungi sebuah wilayah dalam sebuah kegiatan, ternyata wilayah ini masih sangat "terisolir" dalam artian tertinggal jauh dari daerah-daerah sekitarnya.
Demikianlah kemajuan yang digembar-gemborkan saat ini ternyata belum menyentuh daerah ini. Mungkin kita bisa bertanya, kok bisa di tahun 2023 masih ada daerah yang belum tersentuh oleh kemajuan?
Kecamatan Biboki Feotleu dengan ibu kota Manumean memang masih sangat tertinggal dari banyak aspek.Â
Biboki Feotleu merupakan sebuah wilayah kecamatan yang merupakan bagian dari Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kondisi jalan buruk, jaringan komunikasi baik telepon seluler maupun jaringan internet pun sangat buruk dan memprihatinkan.
Banyak cerita dari penduduk sekitar bahwa daerah ini telah menghasilkan "orang-orang besar", tetapi ternyata orang-orang ini tidak pernah kembali lagi ke daerah tersebut.
Jalan utama menuju wilayah ini beraspal. Tapi sayangnya kualitas jalan yang kurang baik ditambah tidak adanya drainase yang baik telah menyebabkan jalan itu rusak parah.
Hal ini sangat membahayakan kenderaan-kenderaan yang akan menuju Manumean. Padahal jarak dari jalan umum jurusan Atambua-Kupang hanya 16 kilometer.
Jarak 16 kilometer yang seharusnya hanya membutuhkan waktu tempuh 15 hingga 30 menit, tetapi jalan yang rusak menyebabkan jarak tempuhnya membutuhkan 1 hingga 2 jam.
Penghasilan utama daerah Manumean adalah Kemiri dan Mete. Untuk bisa membawa hasil bumi ke Atambua atau Atapupu, harus ditempuh dengan susah payah. Belum lagi tarif angkutan yang mecekik para petani ini.
Andaikata jalur transportasi baik, hasil pertanian mereka akan dengan cepat sampai ke kota dengan biaya transportasi yang menjangkau.
Kesengsaraan masyarakat di wilayah ini bertambah para ketika musim hujan tiba. Mereka akan benar-benar terisolir. Jalanan tidak bisa dilewati karena rusak tergerus air dan keadaanya benar-benar licin sehingga membahayakan keselamatan.
Selain jalur transportasi yang sulit, daerah ini pun benar-benar terkucil dari dunia luar.
Apabila saat ini kita sudah bisa menikmati 5G, maka daerah ini tidak tersentuh dengan pesatnya kemajuan dunia telekomunikasi dan internet.
Telkomsel tidak pernah muncul di daerah ini. Signal telepon pun sangat lemah. Kadang-kadang karena kebiasaan melihat waktu di HP akan membuat bingung apalagi yang distel otomatis. Sebab waktu yang muncul di HP adalah waktu Timor Leste.
Dulu sempat ada jaringan internet yang disediakan oleh Bakti Asi tetapi katanya telah habis masa kontraknya dan tidak lagi diperpanjang.
Jaringan yang tersedia di sana cuma dari Indosat. Pemakai kartu IM3 bisa menikmati internet dan telepon. Tetapi mungkin karena bandwit-nya sangat kecil menyebabkan jaringan lelet. Jaringan internet akan mulai membaik antara pukul 00.00 sampai dengan pukul 06.00 pagi.
Akan tetapi siapa yang harus begadang untuk mencari signal internet. Sementara pagi, orang harus bekerja.
Secara guyon, saya bercanda dengan teman-teman di sana bahwa kalau butuh ketenangan datang saja ke Manumean. Kita akan terbebas dari hiruk pikuk media sosial dan arus informasi yang datang setiap hari bagaikan air bah.
Akses jalan buruk, tidak memiliki signal hp menjadi pelengkap yang mengisolir daerah ini.
Bisa dibayangkan bagaimana anak-anak yang lahir antara tahun 2000-an hingga kini di wilayah ini. Tentu saja mereka tidak bisa disebut gen Z. Mereka belum bisa disebut pemilik teknologi komunikasi saat ini.
Mereka memang lahir di zaman ini tapi belum bisa dikategorikan sebagai generasi z sebab umumnya generasi z disebut  sebagai generasi internet atau generasi net. Bahkan gadget sudah menjadi pegangan mereka sejak kecil. Sementara anak-anak di daerah ini masih tertinggal puluhan tahun dari perkembangan dunia saat ini.
Anak-anak di sini belum mengenal kecanggihan dunia iternet. Kalau pun orang tua memiliki HP Androit, pasti hp itu digunakan untuk sekedar bermain game.
Pertanyaan mendasarnya, siapakah yang harus bertanggung jawab atas kondisi dan situasi ini?
Kita harus mengajukan pertanyaan ini kepada pemerintah daerah, provinsi, dan pemerintah pusat. Mengapa pemerataan pembangun yang digembar-gemborkan belum menyentuh daerah ini.
Menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah daerah. Sebuah pemerintahan yang berhasil apabila masyarakatnya maju.
Kemajuan sebuah daerah ditandai dengan pembangunan infrastruktur sampai ke pelosok-pelosok sehingga bisa membuka daerah-daerah yang terisolir baik itu akses jalan maupun jaringan telekomunikasi yang sudah menjadi hal yang niscaya di zaman ini.
Semoga pemerintah tergerak untuk mendekatkan kemajuan dunia saat ini ke wilayah tersebut dengan membuka akses jalan dan akses telekomunikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H