Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajaran dari Tragedi Itaewon, Mengenal Apa Itu Hipoksia dan Pentingnya Manajemen Kerumunan

2 November 2022   19:09 Diperbarui: 3 November 2022   04:48 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragedi Itaewon di Seoul, Korea Selatan meninggalkan pelajaran yang sangat berharga bagi manusia. Sebuah pesta sukacita yang akhirnya menjadi tragedi yang memilukan.

Bila tragedi Kanjuruhan, orang masih mencari kambing hitam pada gas air mata maka Itaewon murni disebabkan oleh kerumunan dan over capacity.

Lokasi yang tidak bisa lagi menampung para pengunjung karena sudah melebihi kapasitas yang ada menjadi penyebab banyak orang kekurangan oksigen. 

Suatu kejadian yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila sudah diantisipasi sebelumnya.

Penyebab utama tragedi Itaewon adalah manajemen kerumunan yang tidak memadai. Hal ini diakui sendiri oleh Perdana Menteri Korea Selatan Han Duck-soo.

Sebuah tragedi yang memilukan dan membawa trauma dan duka bagi masyarakat dunia korban tragedi. Update terakhir korban Itaewon yang dilansir Kompas.com adalah 156 orang.

Insiden ini berawal ketika warga mulai memadati kawasan Itaewon untuk merayakan perayaan Halloween pertama pasca pandemi pada Sabtu, 29/10/2022 lalu.

Namun kawasan itu seakan tidak bisa menampung massa. Jalan-jalan dipenuhi oleh orang yang berdesak-desakan.

Menurut Patricia Febriola, salah seorang WNI yang menjadi saksi mata tragedi tersebut mengatakan bahwa jam 10 malam waktu setempat, mereka sudah tidak bisa berjalan dan sangat berdesak-desakkan.  Dan justru dalam keadaan dan situasi inilah, banyak orang itu kehabisan nafas dan meninggal. Untungnya, ia bersama keempat temannya segera keluar dari tempat itu.

Seorang dokter spesialis jantung, dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) dr. Vito A Damay, SpJP, menjelaskan bahwa dalam kerumunan seperti itu risiko terjadinya hipoksia karena dada yang terhimpit sangat mudah terjadi.

Ketika kita berada di dalam kerumunan dan berdesak-desakkan dengan orang lain di kanan, kiri, depan, maupun belakang, napas kita menjadi kurang lega dan risiko dada terhimpit semakin besar. Bila sudah terjadi demikian kita tidak bisa bernapas dengan baik.

Hipoksia sendiri adalah sebuah kondisi yang disebabkan oleh kurangnya oksigen dalam sel dan jaringan tubuh sehingga fungsi normalnya mengalami gangguan.

Otak dan jantung merupakan dua organ yang paling rentan terkena dampak hipoksia. Kurangnya oksigen dalam sel otot jantung menyebabkan terjadinya detak jantung semakin lemah bahkan henti jantung dengan tidak adanya detak jantung.

Peristiwa Kanjuruhan dan Itaewon merupakan dua contoh kasus pasca pandemi yang menyebabkan kematian ratusan orang karena kerumunan massa yang over capacity. Ini yang harus diantisipasi dan menjadi pelajaran agar tidak terjadi kematian yang sia-sia lagi di masa depan.

Kembali kepada hipoksia. Dalam kerumunan akan terjadi desak-desakkan dan himpitan. Oksigen berkurang dan lebih banyak karbon dioksida dilepas.

Menurut dr. Vito, kekurangan oksigen akan membuat pembuluh darah menjadi kuncup. Dengan demikian, oksigen juga tidak bisa dihantar dengan baik  karena fungsi jantung sebagai pompa pembulu darah dan penghantar oksigen juga mengalami kekurangan oksigen.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa seseorang akan mengalami henti jantung karena hipoksia ini. Orang yang terkena hipoksia akan mengalami gejala-gejala seperti pusing, sesak napas, mata berkunang-kunang, keringat dingin dan lemas.

Kondisi ini berbeda dengan orang yang mengalami serangan jantung. Serangan jantung disebabkan oleh terhentinya aliran darah ke jantung akibat sumbatan pada pembuluh darah. Sedangkan pada kasus henti jantung, yang terjadi adalah kondisi di mana jantung kehilangan fungsinya disertai dengan hilangnya pernapasan dan kesadaran.

Jika berada di dalam kerumunan dan ada orang yang mengalami hipoksia maka kita dapat memberi pertolongan pertama dengan cara melakukan CPR (Cardiopulmonary resuscitation) pijat jantung. Caranya dengan menekan dada pasien dengan cepat dan keras dengan hitungan 100-120 kompresi per menit.

Itulah pertolongan pertama yang harus kita berikan sambil menunggu tindakan medis lebih lanjut oleh para petugas medis. Akan tetapi jika memungkinkan, korban harus sesegera mungkin dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan kejut jantung menggunakan CPR  dengan peralatan defibrillator.

Hal ini sangat diperlukan sebab orang yang mengalami hipoksia jika tidak ditangani dengan tepat akan menyebabkan kematian.

Sementara itu untuk kita yang terlanjur berada dalam kerumunan, kita harus memperhatikan di mana pintu keluar terdekat.

Sedangkan untuk menyelamatkan diri dari kerumunan, maka yang harus dilakukan adalah mengikuti arus dan tidak mendorong. Lalu arahkan diri ke pintu terdekat atau mencari tempat untuk melindungi diri.

Selain itu cara lain yang dianjurkan oleh para dokter adalah beri ruang  bernapas di depan wajah dengan cara meletakkan tangan di depan tubuh seperti posisi petinju. Lalu usahakan untuk tetap berdiri sebab jika terjatuh maka sulit untuk bisa berdiri. Kemungkinan untuk terinjak semakin besar. Banyak korban Kajuruhan disebabkan karena desak-desakan kemudian terjatuh dan terinjak.

Kita bisa saja merasa lega dengan berakhirnya pandemi covid-19. Berbagai event yang akan diselenggarakan ke depannya harus diperhatikan benar-benar terutama soal kapasitas tempat penyelenggaraan acara.

Menurut para ahli, poin kuncinya terletak pada pengendalian massa dalam acara-acara berskala besar. Sebab ketika massa telah berada dalam kerumunan, mereka tidak menyadari kepadatan yang berbahaya di depan mereka.

Mereka tidak memperhatikan risiko tersebut. Karena itu penyelenggara event-event berskala besar seperti itu sudah harus  melakukan kalkulasi yang matang. Sehingga tragedi-tragedi serupa dapat dicegah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun