Sebagai salah satu tanaman lahan kering, sorgum memang sangat baik untuk dibudidayakan di NTT.
Hal ini cocok dengan tanaman ini sebab dapat tumbuh pada ketinggian 0 hingga 800 mdpl dengan suhu 23 derajat hingga 30 derajat celcius dan kelembapan 20% sampai 40%.
Sedangkan curah hujan yang diperlukan adalah 372-425 mm per tahun dengan kadar pH tanah 5 hingga 7,5.
Skala produksi erat berkaitan dengan luas lahan, mutu hasil pertanian dan kontinuitas.
Untuk luas lahan, daerah NTT seluruhnya memiliki potensi sebagai lahan sorgum. Bukan saja Sumba tapi juga Flores dan Timor. Hanya saja setelah diproduksi, pasarnya harus jelas sehingga semangat para petani tidak kendor.
Sementara untuk mutu sorgum tergantung dari varietas dan cara mengelolah lahan pertanian. Karena itu ide menanam sorgum ini harus diiukuti dengan langkah-langkah yang jelas terutama berhubungan dengan pendampingan para petani lewat para penyuluh pertanian yang handal.
Asalkan pemerintah secara penuh melakukan pendampingan dan juga penyuluhan yang benar agar hasil pertanian sorgum benar-benar berkualitas.
Sedangkan untuk kontinuitasnya, hal yang dituntut adalah kerja keras dan kerja cerdas. Jika lahan mencukupi, pendampingan berjalan sebagaimana mestinya maka produksi sorgum harus terus berjalan.
Jangan mengulang kesalahan yang sama seperti di zamannya Dahlan Iskan menjadi Menteri BUMN. Setelah masyarakat beramai-ramai menanam sorgum, giliran panen masyarakat bingung harus memasarkannya ke mana. Pemerintah seolah-olah lepas tangan.
Itu yang terjadi di kabupaten Belu dan Malaka di tahun 2014. Masyarakat pada akhirnya putus asa dan mengembalikan fungsi lahan untuk sorgum menjadi lahan jagung dan kacang hijau.
Kontinuitas ini perlu dijaga dan dipertahankan secara konsisten agar kebijakan ini tidak terkesan hanya berada pada tataran lip service.