Tentu masih jelas terbayang dalam ingatan kita tentang berbagai kasus yang melibatkan intitusi Polri dari masa ke masa.Â
Dulu ada kasus cicak vs buaya yang berjilid-jilid di mana sebagai cicak adalah KPK dan sebagai buaya adalah Kepolisian.Â
Sebenarnya kasus-kasus itu hanya mau mengatakan bahwa tidak ada orang yang kebal hukum. Siapa yang bersalah harus dihukum sesuai dengan sangkaan, dakwaan, dan tuntutan yang diputuskan oleh Kejaksan dan Pengadilan.Â
Namun dalam prakteknya, seringkali hukum dibolak-balik. Hukum seringkali lebih tajam ke bawah dari pada ke atas. Padahal UUD 1945 pasal 27 ayat (1) secara terang benderang mengamanatkan bahwa setiap warga dengan bersama kedudukannya sama di depan hukum.Â
Ini berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Yang bersalah dihukum, yang benar memperoleh keadilannya.Â
Untuk itu mari kita berasumsi bahwa semua orang bersamaan kedudukannya sama di depan hukum, siapa pun dia. Ambil contoh kasus yang paling dekat yaitu kematian Brigadir J. Sebut saja almarhum Brigadir J bersama keluarganya, begitu pula Irjen Ferdi Sambo bersama ajudan-ajudannya, dan Putri Candrawati istri dari Ferdi Sambo.Â
Masalahnya menjadi sederhana jika hukum yang benar betul-betul diterapkan. Kesulitan dan kesukarannya muncul tatkala hukum mulai memilah-milah.
Menurut hukum yang benar (UUD1945) bila ada orang yang bersalah di depan hukum siapa pun dia harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak memandang status, jabatan, dan kekuasaan.Â
Dengan demikian, kita berani mengatakan berikan keadilan kepada Brigadir J dan keluarganya keadilan yang sesungguhnya.Â
Ajakan untuk mengawal kasus ini bergerak dari ketidakpercayaan publik kepada pemrosesan awal kasus ini yang memang penuh dengan rekayasa dari beberapa oknum kepolisian yang terlibat.Â
Andaikata sejak awal, kasus ini diproses dengan benar sesuai dengan prosedur yang benar maka kepercayaan publik kepada polisi tidak akan berkurang.Â