Seperti kebun tumoang sari pada umumnya, kebun tadi selain ditanami padi dan jagung, bisa juga diselingi dengan tanaman lain seperti singkong (ubi kayu), talas serta umbi-umbian lainnya.
Noti (Menyiangi rumput)
Dalam tahap ini, kelompok sako seng baik pria maupun wanita akan membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di ladang atau kebun seiring dengan tumbuhnya jagung atau padi di kebun setiap anggota. Biasanya kegiatan noti ini akan dilakukan setelah tanaman padi atau jagung berumur antara 2-4 minggu.
Rape lele atau Eta pare (Panen)
Saat panen, tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan semuanya terlibat. Mereka akan turun ke ladang mengumpulkan hasil dari ladangnya yang juga bisa dilakukan secara bergiliran, karena jangka waktu panen selalu berdekatan.
Acara panen bisa juga dilakukan dengan cukup meriah. Syukuran panen biasanya dilakukan dengan menyembelih babi atau kambing untuk makan bersama dengan mengundang juga tetangga sekitar.
Tradisi sako seng sangat menarik bila dilihat dari sisi budaya gotong royong yang juga menjadi nafas atau roh orang-orang Sikka dalam bertani.
Sayangnya tradisi ini mulai ketinggalan zaman. Namun sebagai warisan budaya dan tradisi, kita sebagai pemilik tradisi ini perlu terus mempertahankannya  dan memiliki kewajiban asasi untuk melestarikannya agar tidak hilang tergerus oleh zaman.
Beberapa antropolog dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa salah satu penyebab semangat gotong royong seperti dalam tradisi Sako seng ini ditinggalkan adalah penggunaan uang atau dana sebagai tolok ukur yang cukup untuk partisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
Memang perkembangan teknologi mutakir sebagai pengganti tenaga manusia pun tidak bisa ditampik. Namun semuanya memang tidak terlepas dari pada uang.
Di beberapa desa bahkan secara nyata uang menjadi perusak semangat gotong royong warga desa.
Sekarang kebanyakan masyarakat berkalkulasi. Dengan uang yang dimiliki, masyarakat merasa bisa memperoleh apapun yang dibutuhkan sehingga semangat kebersamaan dalam tradisi gotong royong ditinggalkan.