Walaupun saya bukan orang Sikka, tapi saya memiliki ikatan kekerabatan yang kuat dengan Sikka sebab ibu dari anak-anak saya adalah orang Sikka.
Saya mengenal satu tradisi bertani di Sikka yang sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan kegotongroyongan di antara anggota-anggotanya, yaitu "Sako Seng".
Di tahun 2003 hingga 2010 tradisi ini masih kuat di Sikka. Namun seiring bertambahnya waktu, tradisi ini perlahan-lahan mulai ditinggalkan dengan hadirnya teknologi alat pertanian mutakir.
Meski belum benar-benar hilang, namun tradisi ini bisa dikatakan sudah hampir ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat Sikka terlebih orang-orang muda yang lebih mengutamakan efektifitas dan efesiensi dalam bertani.
Tradisi ini sudah mulai dilupakan oleh generasi muda lantaran didostorsi oleh kemajuan taknologi pertanian yang kian modern.
Alat-alat teknologi modern telah mengambil sebagian besar tugas dalam bidang pertanian yang dulunya biasa dikerjakan dengan menggunakan tenaga manusia.
Akibatnya, nilai-nilai gotong royong yang terdapat dalam beberapa warisan budaya seperti sako seng ini mulai luntur dan tergantikan dengan nilai-nilai individualistis yang makin menggerogoti anak-anak muda.
Tradisi ini masih dihidupi oleh para petani di beberapa wilayah Sikka walau tidak semasif dahulu.
Sako seng adalah salah satu tradisi bertani orang-orang Sikka yang mengandalkan gotong royong dalam berkebun.
Sako Seng dikenal di seluruh Kabupaten Sikka. Sako Seng adalah kegiatan mencangkul bersama dalam kelompok. Biasanya satu kelompok terdiri dari 10 hingga 20-an anggota.