Merunut dari peristiwa penolakan yang disuarakan oleh para pekerja terhadap Permenaker No. 2 Tahun 2022, maka coba kita menalaah beberapa UU dan peraturan kementerian ketenagakerjaan yang menjadi payung bagi JHT yang cukup menyita perhatian dan menguras energi ini.
Pada periode pertama kepresidennya, Jokowi mengeluarkan PP Nomor 48 Tahun 2015 yang menyebutkan bahwa JHT BPJS Ketenagakerjaan baru bisa cair saat peserta memasuki usia 56 tahun. Namun saat itu, protes dan penolakan keras datang dari perhimpunan serikat buruh dan ketenagakerjaan.
Reaksi keras ini akhirnya melahirkan PP Nomor 60 Tahun 2015 yang dengan sendirinya menggugurkan PP sebelumnya.Â
Di dalam peraturan baru ini dinyatakan bahwa JHT BPJS Ketenagakerjaan sudah bisa dicairkan setelah peserta keluar dari perusahan. Tidak perlu menunggu sampai peserta harus berusia 56 tahun.Â
Perubahan ini kemudian ditindaklanjuti Kementerian Ketenagakerjaan dengan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015.
Sedangkan di awal tahun ini, Menaker Ida Fauziyah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang kembali mencantumkan syarat usia 56 dalam pencairan JHT BPJS Ketenagakerjaan.Â
Perubahan ini tentunya kembali menuai kritik dan penolakan keras dari para buruh dan serikat para pekerja .
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia  (KSPI) menuntut agar Kemenaker mencabut kembali aturan tersebut karena dinilai sangat merugikan para pekerja.
Penolakan yang sama datang juga dari DPR Â RI lewat Puan Maharani, yang menilai bahwa kebijakan ini diterbitkan pada waktu yang kurang tepat.
Dari penolakan-penolakan ini jelas tergambar ketidakpuasan para pekerja yang telah menjadi anggota JHT Ketenagakerjaan. Para pekerja mempertanyakan, bagaimana jika pensiun dini atau terjadi pemutusan hubungan kerja? Apakah harus menunggu hingga usia 56 tahun untuk menerima JHT ini?