Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perlunya Sikap Kritis dalam Berbudaya dan Beradat Istiadat: Mencermati Surat Pelarangan Helketa oleh Uskup Atambua yang Viral

8 Februari 2022   14:09 Diperbarui: 8 Februari 2022   15:11 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: creator.brilio.net

Setelah Uskup Atambua mengeluarkan surat keputusan pelarangan acara adat "Helketa", muncul banyak pro dan kontra. Mereka yang pro dengan pelarangan ini menyampaikan apresiasi kepada Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migran  dan Perantau  KWI ini karena telah mengeluarkan sikap tegasnya dalam menyikapi fenomena Helketa yang akhir-akhir ini menjadi trend baru sebelum upacara pernikahan bagi orang Dawan.

Lain halnya dengan mereka yang kontra. Berbagai alasan rasional dipakai untuk menyerang pelarangan ini dengan mengatasnamakan adat istiadat.

Pada dasarnya kita semua sepakat bahwa adat istiadat sebagai bagian dari budaya dan kearifan lokal patut kita lestarikan. Pelestarian ini harus kita upayakan agar adat istiadat yang telah menjadi tradisi turun-temurun dalam sebuah masyarakat adat tidak mati atau hilang.

Apa sebenarnya adat istiadat itu?

Ada beberapa sumber mengatakan bahwa adat istiadat adalah bentuk budaya yang mewakili norma, nilai, tradisi, dan kebiasaan bersama dari suatu kelompok. Biasanya, adat istiadat digunakan untuk memandu sikap dan perilaku masyarakat tertentu.

Karena itu tidak heran kalau ada beragam adat istiadat yang masih berlaku sampai dengan saat ini. Adat istiadat itu terus dilestarikan dengan berbagai cara oleh pemilik adat istiadat tersebut. Adat istiadat juga merupakan bagian dari identitas yang melekat secara turun temurun. 

Sementara itu ada juga yang mengatakan, adat istiadat adalah wujud perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bentuk adat istiadat yang diwariskan dan dilestarikan itu bisa berupa aktivitas, kepercayaan, atau upacara yang dilakukan secara turun-temurun.

Akan tetapi kadang adat istiadat yang menjadi tradisi turun-temurun itu perlu dikoreksi. Karena itu sikap kritis perlu dibangun. 

Banyak orang bersembunyi di balik "demi melestarikan kearifan lokal" lantas mematikan sikap kritisnya terhadap suatu tradisi yang salah yang telah dihidupi turun-temurun.

Untuk sampai pada hakikat dari adat istiadat, orang harus mencari tahu akar dan sumber asli dari adat istiadat itu. Ada kondisi-kondisi tertentu yang menjadi dasar adat istiadat itu masih dipertahankan hingga saat ini. 

Adat istiadat yang mengandung nilai-nilai kemasyarakatan yang tinggi biasanya mengandung juga nilai-nilai moral tertentu. 

Nilai-nilai itu menjadi penuntun dan jalan yang mengarahkan masyarakat yang menghidupi tradisi yang dimaksud.

Sedangkan KBBI memberikan definisi yang lebih rigor tentang adat istiadat yaitu sebagai tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke genenasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. Defenisi ini perlu dikritisi karena tidak sesuatu pun yang kekal di dunia ini, apalagi ini berhubungan dengan tata kelakukan kekal.

Tradisi helketa misalnya, adalah suatu kebiasaan yang dibangun masyarakat adat atoin meto (orang dawan) untuk memutus mata rantai kutukan yang terjadi di antara suku-suku yang dulu bertikai dan sempat menyampaikan sumpah serapa. 

Untuk memutus sumpah serapa ini, maka perlu diadakan satu prosesi adat yang diyakini bisa memutus sumpah serapa ini sehingga keluarga yang dibangun oleh pasangan itu terbebaskan dari semua itu. 

Upacara itu biasanya diadakan di sungai dengan air mengalir dengan bahasa adat yang diucapkan oleh tua adat yang dipercayakan. Air yang mengalir ini akan membawa semua beban dari kedua pasangan dan keluarga besar mereka. Dengan demikian, kutukan atau sumpah serapa itu pun ikut hanyut.

Namun yang perlu dicermati bahwa tidak semua suku dawan bermusuhan atau bertikai. Karena itu helketa ini tidak wajib untuk setiap orang dawan yang mau menikah. Helketa hanya ditujukan untuk suku-suku yang memang pernah bermusuhan satu sama lain di masa lalu.

Ada pula yang sangat ngotot mempertahankan tradisi ini tanpa tahu alasan di balik itu. Mereka hanya melakukan itu ssbagai sebuah tradisi wajib sebelum menikah. 

Mereka beralasan bahwa apa yang terjadi antara nenek moyang dahulu sudah hilang jejak historisnya tapi tradisi adat ini dibuat saja, agar kita terhindar dari kutukan atau sumpah serapa masa lalu yang entah benar ada atau tidak.

Aneh bin ajaib, kita tidak tahu apa yang kita hidupi sampai saat ini tetapi terus kita lestatikan. Jadi yang terjadi adalah kita menghidupi sesuatu yang sia-sia. Apa gunanya kalau kita sendiri tidak tahu, tapi memaksakan diri untuk melakukan praktek adat istiadat itu.

Kita harus menggali lebih jauh latar belakang dari tradisi helketa ini kalau memang kita benar-benar konsen untuk melestarikannya. Kita harus memetahkan secara jelas, atoin meto yang mana yang perlu melakukan acara helketa dan mana yang tidak perlu. Sebab akhir-akhir ini tradisi helketa mulai berkembang secara meluas dan sepertinya telah menjadi wajib.

Bayangkan saja, orang dawan menikah dengan orang dari Malaka ada helketa. Orang dawan menikah dengan orang dari Belu Utara juga harus ada helketa. Orang dawan menikah dengan orang Jawa, juga mesti ada helketa. Apakah ini praktek yang benar sesuai dengan tradisi helketa?

Kita kembalikan pertanyaan ini kepada mereka semua yang menghidupi tradisi secara turun-temurun.

Kesadaran akan sikap kritis, harus kita bangun. Kita mesti kritis terhadap berbagai budaya dan tradisi adat istiadat warisan leluhur, mana yang perlu terus dipertahankan dan mana yang perlu kita lestarikan.

Zaman berubah.  Kita harus mengakui itu. Kita tidak harus ikut larut di dalam perubahan itu tapi kita juga tidak harus memasrahkan diri pada semua bentuk adat istiadat yang mengekang kita untuk maju.

Suatu tradisi yang telah dihidupi turun-temurun tidak lantas menjadi mutlak atau menjadi kekal. Bila ada kekeliruan di dalamnya, maka perlu perbaikan demi masyarakat adat itu sendiri.

Bila adat istiadat yang kita hidupi tidak sesuai lagi dengan jaman, harus dibenahi dan diluruskan agar tidak menjadi beban bagi generasi yang akan datang.

Dan ini adalah tugasnya generasi sekarang untuk kritis. Kita tidak bisa hanya duduk dan berpangku tangan lalu demi melestarikan kearifan lokal, kita tidak lagi kritis.

Salam sehat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun