Belum lagi persoalan legalitas tenaga-tenaga kerja kita. Banyak dari TKI/TKW kita masuk bekerja dengan cara non prosedural. Akibatnya, sistem pengupahannya tidak sesuai dengan upah yang sebenarnya sebagaimana mereka yang masuk secara legal.
Mengapa kisah ini saya angkat di sini karena ada hubungannya dengan tenaga-tenaga honorer yang masih diributkan sampai saat ini.
Ketika pilkada 2019 telah usai, di sebuah kabupaten A terjadi hiruk pikuk dengan tenaga-tenaga honorer. Banyak tenaga honorer adalah pendukung fanatik salah pasangan Bupati dan Wakil Bupati yang kalah. Mereka sudah tahu kisah akhir dari petualangan mereka sebagai tenaga honorer daerah. Mereka akan diberhentikan dan diganti dengan tenaga-tenaga honorer baru yang mendukung pasangan yang menang.
Banyak dari tenaga honorer ini akhirnya memilih merantau ke Malaysia sebagai pilihan terakhir. Ini fakta yang ada. Inilah sistem yang berjalan di daerah.
Dari tenaga-tenaga honorer itu, ada yang adalah suami, ada pula yang adalah istri. Tentunya, mereka adalah orang tua dari anak-anak mereka. Bila mereka memilih untuk merantau berarti ada yang mesti mereka tinggalkan. Bisa saja istri dan anak-anak yang ditinggalkan dan bisa jadi juga suami istri semuanya berangkat dan meninggalkan anak-anak sendirian.
Hal ini mengakibatkan pecahnya keluarga inti. Anak-anak tidak terurus. Dalam keadaan yang kacau balau, anak-anak mengambil jalan pintas. Berita tentang siswi yang bunuh diri di atas sungguh memberikan sebuah pelajaran berharga bagi negara bagaimana harus mengurus warganya.
Negara harus becus mengurus tenaga-tenaga honorer kita dan juga tenaga-tenaga kerja produktif kita agar negara tidak lagi menerima peti-peti jenazah para penyumbang devisa negara ini.
Salam SEHAT.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI