Sungguh paradoks. Negeri yang katanya kaya akan susu dan madu ini membiarkan warganya mati di negeri orang.
Negeri ini belajar dari kesalahan-kesalahan terdahulu, padahal pengalaman adalah guru terbaik. Masalah-masalah menahun seperti ini tidak pernah selesai diurus dan dibenahi.
Tanah kita luas. Banyak peluang usaha terbuka lebar, namun berbagai aspek pendukung usaha-usaha kecil di tengah masyarakat tidak diatur dengan benar. Bahkan monopoli pasar sering sekali terjadi. Akibatnya, berbagai bahan komoditi dari masyarakat yang sebenarnya bernilai tinggi ditekan harganya oleh monopoli pasar yang cenderung tidak berpihak kepada mereka.
Nilai jual jagung, kacang hijau, dan beberapa bahan komoditi lain tidak diatur dengan baik. Harga bahan-bahan komoditi tersebut anjlok di masa panen dan akan melejit tajam saat eforia panen masyarakat telah usai.
Aturan sudah dibuat dan ditetapkan. Tetapi siap yang mampu menerapkan dalam kehidupan pasar yang sesungguhnya, inilah yang tidak terlihat dalam praktek nyatanya di lapangan. Ini menyebabkan para tenaga kerja produktif kita kecewa dan memilih jalan pintas, yaitu merantau secara prosedural maupun non prosedural. Â
Sebagai pembanding, saya mengenal beberapa orang yang setelah kembali dari Malaysia, mencoba untuk menerapkan ilmu yang mereka dapat di negeri Jiran. Hasil perkebunan seperti sayur-mayur melimpah. Namun cuan yang diperoleh dari usaha itu tidak seperti yang diharapkan. Sementara kebutuhan semakin meningkat. Keadaan ini memaksa mereka untuk kembali ke Malaysia. Apakah mereka salah, tidak. Itu adalah hak mereka.
Yang jadi persoalan adalah ketika mereka harus pulang dalam bentuk jenazah di dalam peti-peti mati. Dari sana kita tahu bahwa negeri ini masih tidur dan belum serius menangani masalah-masalah ini dan membiarkannya terus menjadi masalah. Â Masalah-masalah ini ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Kita tidak menafikan banyak kisah sukses dari mereka yang merantau ke negeri-negeri dengan sistem penggajian yang lebih dari negara kita ini. Tetapi, tidak boleh lupa bahwa banyak juga kisah gagal yang disuguhkan kepada kita.
Ketika para tenaga kerja mampu mengelolah "gula" dan "manisan" dari negeri seberang menjadi sesuatu yang bernilai atau paling tidak bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik, kita patut mengajungi jempol. Tetapi ketika ada yang gagal, kita juga patut curiga sebenarnya ada apa di balik semua itu.
Negara mesti benar-benar hadir dalam masalah-masalah seperti ini. Harus ada upaya sungguh-sungguh untuk menuntaskan. Sebab membiarkannya, seperti menyimpan duri dalam daging.
Sebenarnya negera mesti mencipatakan banyak lapangan kerja sehingga mampu menampung tenaga-tenaga produktif kita sehingga tidak lari ke negara orang. Sebab, bisa jadi, demi merantau ada tanah yang digadaikan atau dijual. Sementara tidak ada jaminan bahwa tanah yang telah dijual itu dapat dibeli kembali.