Indonesia telah lama dijuluki sebagai salah satu negara paling demokrasi terbesar di dunia. Namun jika melihat beberapa kejadian belakangan ini, rupanya kita meski memeriksa kembali julukan yang diberikan tersebut. Penangkapan beberapa aktivis yang terjadi belakangan ini merupakan pertanda bahwa demokrasi di negeri ini sedang mengalami kemunduran.
Sebelumnya mari melihat kembali konteks demokrasi. Dalam sistem demokrasi terkandung sebuah nilai yang melindungi kebebasan-kebebasan sipil. Adapun sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi  dapat dilihat dengan ciri-ciri berikut ini: adanya kebebasan warga negara dalam sistem tersebut untuk, (1) membentuk dan ikut serta dalam organisasi, (2) berekspresi atau berpendapat, (3) menjadi pejabat publik, (4) melakukan persaingan atau kontestasi di antara warga untuk mendapatkan dukungan dalam rangka memperebutkan jabatan-jabatan publik penting, (5) memberikan suara dalam pemilihan umum, (6) ada pemilihan umum yang jurdil, (7) adanya sumber-sumber informasi alternatif di luar yang diberikan pemerintahan, dan (8) adanya jaminan kelembagaan bahwa setiap kebijakan pemerintah tergantung pada dukungan suara dan bentuk-bentuk keinginan ekspresi lainnya.
Dalam sistem demokrasi juga mengenal yang namanya "Civil Society". Menurut Nurcholish Madjid, civil society adalah "rumah" persemaian demokrasi. Perlambang demokrasi adalah pemilihan umum (Pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak hanya bersemayam dalam Pemilu, jika demokrasi harus punya "rumah", maka bagi Cak Nur rumahnya adalah civil society.
Lantas apakah yang disebut dengan istilah civil society? Merujuk pada jurnal " Demokrasi Civil Society di Indonesia dan India: Sebuah Perbandingan", yang ditulis oleh Gemael Flamirion dan Muradi, istilah civil society lebih disepakati diartikan masyarakat sipil sebagai padanan kata untuk frasa ini dalam Bahasa Indonesia. Sebab secara pengertian kebahasaan istilah inilah yang paling mendekati arti dari civil society secara umum.
Pemikiran mengenai demokrasi dan civil society telah ada sejak pemikiran politik Barat modern mulai berkembang. Sebelumnya lebih jauh ke belakang, Cicero (106-43 SM), dikutip dari "Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia", ditulis oleh Masroer C Jb dan Lalu Darmawan, yang pertama kali mencetuskan istilah civil society dengan mengacu kepada gejala budaya perorangan masyarakat.Â
Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang beradab dan memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antara individu menandai keberadaan suatu jenis masyarakat yang tinggal di kota.
Selanjutnya para ilmuwan terus mencoba melakukan pembaharuan terhadap civil society. John Locke, dikutip dari " Demokrasi Civil Society di Indonesia dan India: Sebuah Perbandingan", mengatakan bahwa masyarakat sipil merupakan bagian yang terpisah dari pemerintah karena mereka ingin pemerintah melindungi hak milik pribadi.Â
Konsep Locke berdiri di atas misi menghidupkan kembali peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak-hak istimewa para bangsawan.
Sementara itu J.J. Rosseau dikutip dari "Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia", dengan teori Social Contract (1762) yang berbicara tentang otoritas rakyat dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan masyarakat guna ikut serta menentukan masa depan hidupnya. Serta menghancurkan monopoli yang dilakukan kaum elit yang berkuasa.
Selanjutnya mengambil pandangan Antonio Gramsci terhadap konsep civil society. Dikutip dari "Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia", Gramsci melihat civil society dalam dominasi politik dan kultural. Kesimpulannya konsep kunci Gramsci adalah hegemoni. Pembentukan hegemoni terletak pada wilayah civil society bukan terletak di wikayah negara.Â
Gramsci berpendapat, untuk mempertahankan kekuasaan kelas sosial yang dominan, mau tidak mau harus bernegosiasi dan membuat semacam kompromi dengan kelompok sosial lainnya di dalam arena civil society.
Penjelasan Gramsci civil society bukanlah semata-mata mewadahi kepentingan individu, tetapi di dalamnya juga terdapat organisasi-organisasi yang berusaha melayani kepentingan orang banyak. Civil society memiliki potensi untuk mengatur dirinya sendiri secara rasional dan mengandung unsur kebebasan.
Larry Diamond, dikutip dari "Demokratisasi di Indonesia: Tantangan di tengah Kemiskinan dan Ketidakadilan", ditulis Victor Silaen, menjelaskan bahwa demokrasi kerap harus dicapai melalui pengorbanan jutaan rakyat yang secara aktif melibatkan diri dalam gerakan kemasyarakatan (civic movement) dan gerakan media yang independen.Â
Dengan kata lain, pencapaian demokrasi menuntut perjuangan, resiko pribadi, mobilisasi dan daya tahan dari banyak orang dan rakyat. Dan demokrasi tersebut niscaya dapat menjadi langgeng jika ia didukung dengan berkembangnya civil society yang bersemangat, gigih dan pluralis.
Masih dari sumber yang sama, Alexis de Tocqueville, civil society adalah wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, yang bercirikan: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting), kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, keterkaitan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warga masyarakat.
Selanjutnya Larry Diamond, dikutip dari " Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif Rumah Demokrasi", ditulis Asrori S. Karni, menyebutkan ada enam sumbangan civil society bagi demokrasi: (1) ia menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan diantara para pejabat negara, (2) pluralisme dalam civil society, bila diorganisir, bukan menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis, (3) memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan, (4) ikut menjaga stabilitas negara, (5) tempat menggembleng pemimpin politik, dan (6) menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Selanjutnya masih dalam Asrori S. Karni (1999), civil society, kecenderungan partikularisme dan sektarian dihindari, namun totalisme dan uniformisme ditolak. Ia menghargai kebebasan individu, namun menolak anarkhi, memperjuangkan kebebasan berekspresi tetapi juga menuntut tanggung jawab etik, menolak intervensi negara, tetapi memerlukan negara sebagai pelindung dan penengah konflik baik internal maupun eksternal.Â
Negara memang tidak mesti langsung dilihat sebagai lawan, karena negara juga memiliki elemen yang signifikan bagi pertumbuhan civil society, seperti pranata hukum.
Gerakan-gerakan protes dan aksi demonstrasi yang disampaikan oleh para aktivis merupakan bagian dari demokrasi dan juga sebagai bagian dari kemandirian masyarakat dalam mengontrol kekuasaan yang sedang berlangsung. Kebebasan penyampaian pendapat adalah hak yang harus diberikan kepada warga negara dan harus dilindungi oleh pemerintah.Â
Dan dalam konsep civil society warga negara disadarkan posisinya sebagai pemilik kedaulatan dan haknya untuk mengontrol kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat itu. Untuk mengontrol kekuasaan yang dilakukan oleh masyarakat, tentu saja mensyaratkan ruang publik yang bebas sehingga tiap individu dalam masyarakat berkesempatan mempekuat kemandirian dan kemampuannya dalam pengelolaan wilayahnya.Â
Penangkapan aktvis merupakan hambatan dalam proses demokratisasi dan kemandirian masyarakat dalam mengontrol kekuasaan. Hal ini akan membawa dampak buruk bagi pemerintah dalam mengupayakan ruang publik yang bebas dari dominasi kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H