Menjelang tahun yang sangat kental dengan nuansa politik, Presiden Joko Widodo melakukan kebijakan yang cukup berlawanan. Pemerintah memutuskan menaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) non subsidi, seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamax Dex.Â
Kenaikan harga BBM non subsidi ini mengacu terhadap Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 34 Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual BBM Eceran.
Namun yang sama diketahui juga kenaikan harga BBM ini tidak semua jenis mengalami kenaikan. Harga Premium, Solar dan Pertalite tidak mengalami kenaikan. Harga Premium ditetapkan Rp. 6450 per liter.Â
Premium adalah jenis bahan bakar minyak yang tidak disubsidi, namun pemerintah mengatur harga jual BBM dengan kandungan oktan atau research octane number (RON 88) tersebut. Harga Pertalite dengan RON 90 tidak disubsidi pemerintah dengan harga jual Rp. 7800 per liter.
Sontak hal ini menjadi bahan empuk kaum oposisi untuk terus memojokkan posisi Pemerintah di mata masyarakat. Keputusan tersebut dianggap sebagai hal yang kian memberatkan kehidupan masyarakat. Terlebih lagi jika masyarakat luas kembali mengingat bahwa sejak akhir tahun 2014 Pemerintah telah menghapuskan subsidi untuk pengguna BBM. Ini akan semakin membuat kepemimpinan Joko Widodo dianggap sebagai pemimpin yang tidak pro terhadap masyarakat kecil.
Mengingat Pertamax dan jenis lainnya yang dinaikkan harganya oleh Pemerintah adalah jenis BBM yang tidak disubsidi, maka harganya akan mengikuti harga minyak dunia. Jika harga minyak dunia naik, maka harga Pertamax dan bahan bakar non subsidi lainnya akan ikut naik. Namun jika harga minyak dunia turun, hal tersebut pun akan terjadi pada harga jenis BBM yang tidak disubsidi.
Bahan bakar minyak adalah jenis bahan bakar yang dihasilkan dari pengilangan minyak mentah. Minyak mentah dari perut bumi diolah dalam pengilangan terlebih dulu untuk menghasilkan produk-produk minyak yang termasuk di dalamnya adalah BBM ( dalam jurnal Hanan Nugroho : Apakah Persoalannya Pada Subsidi BBM?)
Selanjutnya, untuk menghasilkan BBM, kilang-kilang minyak di Indonesia menggunakan input: (i) minyak mentah yang diimpor dari luar negeri, dan (ii) minyak mentah produksi dalam negeri.
Hanan Nugroho dalam jurnalnya tersebut juga menjelaskan elemen biaya penyediaan bahan bakar minyak di dalam negeri dengan memperhatikan mekanisme penyediaan tersebut - adalah meliputi: (i) biaya impor minyak mentah, (ii) biaya pembelian minyak mentah produksi dalam negeri, (iii) biaya impor BBM, (iv) biaya pengilangan, (v) biaya distribusi dan (vi) biaya tak langsung.
Seperti yang diketahui bersama, jika harga BBM naik maka begitu juga dengan harga bahan-bahan pokok lainnya. Lantas kenapa Pemerintahan Joko Widodo sejak awal kekuasaannya malah menghapuskan bahan bakar minyak bersubsidi? Masih dalam jurnal Hanan Nugroho "Apakah Persoalannya Pada Subsidi BBM?" Pemerintah Indonesia bertekad untuk mengurangi subsidi BBM, dan menyatakan hal itu antara lain dalam UU No. 20 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang menegaskan penghapusan subsidi BBM dapat dicapai pada tahun 2004. Artinya sudah sejak lama subsidi bahan bakar minyak ingin dihapuskan, namun baru pada Pemerintahan Joko Widodo lah yang merealisasikannya.
Selanjutnya dalam jurnal yang berjudul "Dampak Penurunan Subsidi Bahan Bakar Minyak: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia" yang ditulis oleh Lestari Kurniawati (2017), secara ekonomi tujuan subsidi adalah mengurangi harga atau menambah keluaran. Subsidi mempunyai fungsi yang berkebalikan dengan pajak. Pemberian subsidi akan membuat harga semakin murah dapat menambah pendapatan nyata baik kepada konsumen maupun produsen.
Pemerintah Indonesia memberikan subsidi energi untuk produk-produk seperti gas, listrik dan bahan bakar minyak. Namun banyak ahli berpendapat bahwa subsidi BBM negatif bagi masyarakat di negara tersebut maupun secara global. Masih dalam jurnalnya Lestari Kurniawati (2017), A. Mourougene juga mengungkapkan pemberian subsidi energi menimbulkan dampak dan memunculkan biaya yang mencakup biaya ekonomi, biaya fiskal, biaya sosial dan biaya lingkungan.
Dalam dua dekade ini banyak negara anggota OECD yang telah menghapus atau mengurangi subsidi BBM baik subsidi langsung maupun tidak langsung.
Seperti data yang dikeluarkan oleh Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN yang berjudul "Subsidi BBM: Problematika dan Alternatif Kebijakan", sejak tahun 2012 hingga tahun 2014, besaran subsidi BBM sudah lebih besar dari penerimaan negara dari sektor minyak bumi. Pada tahun 2012 sebesar minus Rp. 34,20 triliun, tahun 2013 minus Rp. 42,31 triliun dan tahun 2014 minus Rp. 59,92 triliun.
Selanjutnya - masih dalam " Subsidi BBM: Problematika dan Alternatif Kebijakan - Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) pada 2013 menunjukkan total anggaran subsidi BBM yang disalurkan oleh Pemerintah mencapai Rp. 210 triliun.Â
Dari jumlah subsidi yang disalurkan tersebut sebagian besar yakni 92 persen digunakan untuk transportasi darat. Dari total subsidi yang disalurkan untuk transportasi darat, sekitar 53 persen dinikmati oleh pengguna kendaraan pribadi atau lebih dari Rp. 100 triliun subsidi bahan bakar minyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Sekitar 40 persen dikonsumsi oleh sepeda motor dan 3 persen untuk angkutan umum yang digunakan oleh sebagian besar rakyat menengah ke bawah.
Dari penghapusan biaya subsidi bahan bakar minyak ini, seperti dilansir dari Katadata.co.id dalam artikel "Ini Alokasi Dana Penghapusan Subsidi BBM" (2015), Pemerintah berhasil mengehmat dana sebesar Rp. 186 triliun.Â
Penghapusan subsidi bahan bakar minyak bukan berarti dana yang seharusnya digunakan untuk subsidi tidak terpakai lagi melainkan dialokasikan ke beberapa pos anggaran lainnya. Seperti, (i) menambah dana perlindungan sosial, (ii) menambah dana perlindungan kesehatan, (iii) dana desa, (iv) pengembangan armada perbatasan, sistem informasi dan logistik kelautan, (v) sektor pendidikan, (vi) sektor pertanian, (vii) sektor perumahan rakyat dan pekerjaan umum, (viii) sektor perhubungan, dan (ix) peningkatan dana alokasi khusus.
Kebijakan-kebijakan ekonomi Pemerintahan Joko Widodo memang kurang populer di mata masyarakat. Penghapusan subsidi BBM dan mengutamakan pembangunan infrastruktur menjadi fokus Pemerintah dalam mengupayakan alokasi dana yang tepat sasaran dan pertumbuhan perekonomian yang diharapkan secara perlahan dapat meningkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H