Geliat persaingan pada pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 pada saat ini semakin memanas. Perang opini dari berbagai pendukung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur hampir setiap hari bermunculan di berbagai media, terutama di media sosial. Ada tiga pasangan calon yang akan bertarung pada Pilgub 2017 nanti, termasuk Ahok yang maju sebagai calon petahana berpasangan dengan Djarot didukung oleh empat partai; yakni PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem dan Partai Hanura.Â
Ahok yang sejatinya digadang-gadang maju dengan jalur perseorangan akhirnya memutuskan untuk maju pada pemilihan gubernur nanti melalui jalur partai politik. Teman Ahok relawan yang menginisiasi Basuki Tjahaja Purnama untuk maju melalui jalut perseorangan pun tidak ambil pusing dengan keputusan tersebut. Terlebih setelah atmosfer politik di Jakarta memanas akibat isu reklamasi mencuat.Â
Sejak saat itu, posisi dan daya tawar Ahok sebagai Gubernur sedikit goyang. Ditambah lagi isu yang mengemuka tentang sumber dana yang diterima oleh Teman Ahok. Selain itu juga validitas jumlah KTP yang berhasil dikumpulkan oleh relawan pendukung Ahok apakah benar mencapai angka 1 juta KTP seperti yang digaungkan oleh para relawannya. Pertimbangan-pertimbangan tersebutlah yang sekiranya membuat Ahok untuk merangkul partai politik yang ingin meminangnya.
Ahok dan Djarot yang diusung oleh PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura memang unggul dalam perolehan jumlah kursi di DPRD DKI Jakarta. Ke-empat partai tersebut memiliki 52 kursi di DPRD, unggul jauh dari dua pesaing lainnya.
Sementara itu, Koalisi Kekeluargaan yang sempat mencuat beberapa saat sebelum pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur dibuka oleh KPUD DKI Jakarta akhirnya pecah menjelang pluit akhir pendaftaran. Partai Gerindra yang sejatinya pada 2012 lalu mengusung Ahok sebagai calon wakil gubernur berpasangan dengan calon gubernur dari PDIP yakni Jokowi, akhirnya memutuskan untuk mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon gubernur pada tahun 2017 nanti.Â
Partai Gerindra yang hubungannya kian harmonis dengan Partai Keadilan Sejahtera resmi menjadikan Sandiaga Uno yang sebelumnya santer dicalonkan sebagai calon gubernur, dicalonkan menjadi pendamping Anies Baswedan. Partai Gerindra dan PKS di DPRD DKI Jakarta hanya memiliki 26 jumlah kursi.
Selain itu, pertarungan menuju DKI 1 nanti dikejutkan oleh pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Keduanya maju sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur diusung oleh empat partai menengah, yaitu Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkita Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. Pasangan ini seperti menjadi kepanjangan tangan pemerintahan periode 2009-2014 yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono jika dilihat dari partai pendukungnya.
Terpilihnya Agus dan Anies sebagai calon gubernur meruntuhkan nama-nama besar yang sebelumnya santer akan mencalonkan diri sebagai penantang Ahok. Yusril Ihza Mahendra, Ahmad Dhani, Lulung Lunggana, hingga Adhyaksa Dault harus rela melepas keinginannya untuk maju pada pemilihan gubernur mendatang. Nama Anies Baswedan baru muncul menjelang dibukanya pendaftaran gubernur DKI Jakarta. Bahkan Anies harus menunggu kepastian tersebut ketika PKS dan Gerindra melakukan kocok ulang untuk menentukan pendamping dari Sandiaga Uno.Â
Sementara itu, Agus Yudhoyono yang selama ini karirnya gemilang di dunia militer akhirnya harus merelakan jabatannya tersebut ketika dirinya dimajukan sebagai salah satu penantang Ahok di 2017 nanti. Kedua nama ini jelas akan menyulitkan Ahok agar terpilih menjadi Gubernur pada tahun depan.
Setelah ketiganya resmi mencalonkan diri, dan mengikuti berbagai test yang ditentukan oleh KPUD DKI Jakarta, berbagai survei dilakukan oleh berbagai lembaga survei. Dilihat dari hasil akhir dari berbagai survei yang dilakukan, Ahok-Djarot tampaknya meski kerja keras untuk mendongkrak suaranya pada pemilihan nanti. Pasangan Ahok-Djarot tak pernah memiliki keunggulan yang mutlak. Tidak memiliki selisih suara yang dominan dengan dua penantangnya. Ahok-Djarot memang masih terlihat unggul, namun jika pemilihan dilakukan dengan dua putaran tentunya Ahok-Djarot kemungkinan harus merelakan jabatan yang diembannya pada saat ini.
Para penantang Ahok kemungkinan akan melakukan koalisi bersama jika pemilihan gubernur nanti berjalan dua putaran. Hal yang lebih membahayakan lagi adalah tingkat keterpilihan Ahok-Djaror begitu rendah pada segmentasi pemilih yang memiliki pendidikan tinggi dan juga berpendapatan rendah. Anies-Sandiaga diunggulkan mendulang suara pada para pemilih yang memiliki pendidikan tinggi, minimal strata 1. Sedangkan Agus-Sylviana unggul pada pemilih yang memiliki pendapatan dibawah 999 ribu rupiah.Â
Hasil survei ini tentunya akan menggiring para pemilih yang belum memutuskan untuk memilih pasangan calon gubernur beserta wakilnya pada saat ini. Terlebih jika kita melihat suara golput yang ada di DKI Jakarta ini cukup lumayan besar. Sebut saja, pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada tahun 2012, pasangan terpilih Jokowi-Ahok hanya unggul sekitar 68.124 suara dari jumlah golput yang berjumlah 2.404.006 orang. Sementara itu jika dilihat dari partisipasi pemilih pada pemilihan presiden tahun 2014 lalu, jumlah golput di DKI Jakarta masih disekitaran angka 2.081.396 suara. Tentunya jumlah ini sangatlah besar untuk diperebutkan oleh para kandidat yang maju.
Ahok-Djarot belakangan memang dikenal selalu bertentangan dengan kaum miskin. Sudah berapa banyak kawasan kumuh yang digusur selama keduanya berkuasa di Jakarta. Selain itu, isu pencemaran lingkungan pun kini terstempel dibenak keduanya, karena berpihak kepada investor untuk mereklamasi teluk Jakarta. Keduanya berasalan, karena kaum miskin menempati kawasan yang bukan miliknya.Â
Tanah yang mereka huni, menurut pemerintahan Jakarta pada saat ini adalah milik pemerintah ibu kota sehingga kaum miskin layak tergusur dan harus pindah ke rumah susun yang telah disediakan. Sementara itu, teluk Jakarta dianggap sudah tercemar sehingga reklamasi dianggap layak berjalan dengan berbagai resiko yang akan datang dikemudian hari.
Pada pemerintahan Ahok-Djarot memang tidak mengenal kompromi ataupun rehalibitasi. Jika dipandang tidak layak, maka keduanya tidak sungkan untuk menggerus sesuatu yang merugikan kawasan ibu kota. Rehalibitasi laut dan juga rehalibitasi perumahan miskin sulit sekali terjadi secara manusiawi. Padahal fenomena perumahan kumuh sebenarnya merupakan fenomena yang tampak di kota-kota besar. Laporan UN Habitat, The Challenge of Slums; Global Report on Human Settlements 2003, menyebut, urbanisasi, liberalisasi dan ketimpangan ekonomi memngaruhi munculnya permukiman kumuh di kota besar. Namun, banyak pemerintah kota besar memilih jalan instan untuk menghapus permukiman kumuh. Termasuk yang selama ini dilakukan oleh Pemprov Jakarta.
Ahok-Djarot harus waspada dan melakukan perubahan gaya kepemimpinan yang selama ini mereka jalankan. Jika dilihat dari hasil berbagai survei yang dilakukan, kemungkinan keduanya akan sangat sulit untuk menandingi lawannya pada putaran kedua pemilihan gubernur nanti. Apalagi masih begitu banyaknya pemilih DKI Jakarta yang memutuskan jalan golput pada setiap pemilihan yang berlangsung di ibu kota.
Hasil survei ini akan menggiring suara-suara yang belum menentukan pilihan. Tidak bisa dipungkiri Bandwagon effect akan terjadi pada pemilihan gubernur nanti bagi para golput untuk menggunakan hak pilihnya. Bandwagon effect adalah kecenderungan seseorang malakukan sebuah tindakan karena melihat begitu banyaknya mayoritas melakukan tindakan tersebut. Atau juga dalam dunia politik bandwagon effect adalah kecenderungan memilih karena melihat keberhasilan suatu pemimpin. Hal-hal seperti inilah yang akan membawa suara golput untuk menggunakan hak pilihnya di pemilihan gubernur dan wakil gubernur nanti. Hasil survei menjelaskan Ahok-Djarot tidak berhasil membangun DKI Jakarta secara manusiawi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI