Bangsa mana yang ingin melihat rakyatnya sendiri menjadi bahan olokan oleh para pemimpinnya?
Pada hakekatnya dunia politik adalah sebuah tempat untuk menjaring dan menjadi jembatan antara kehendak publik dan proses-proses pengambilan kebijakan dilevel pemerintahan. Di Indonesia para aktor politik sudah tidak lagi menjembatani aspirasi rakyat dalam menyuarakan kehendak mereka dalam aktifitas pembuatan peraturan dan perundang-undangan yang baru di level kekuasaan. Politik yang seharusnya bisa menjaga tujuan-tujuan tersebut, sampai saat ini dalam praktiknya masih jauh dari harapan.
Dunia politik pada saat ini cenderung mengarah pada sebuah panggung kemunafikan bagi para aktornya. Nampaknya, semakin munafik seseorang maka semakin besar kemungkinannya ia menjadi pemimpin. Bagaimana tidak, dalam era demokrasi pada saat ini, di mana pemimpin dipilih langsung oleh rakyatnya hal yang terpenting yang harus dimiliki oleh calom pemimpin adalah kemunafikan. Panggung besar politik yang mempunyai tujuan mulia untuk rakyatnya kini sudah terbalik sepenuhnya.
Pada saat ini rasanya para politisi kecanduan kemunafikan. Mereka tak bisa tampil “polos” tanpa ada kebohongan dihadapan rakyatnya. Politisi gemar sekali “mendandani” dirinya dengan hal-hal yang tak pernah ia pakai sebelumnya.
Menjelang Pilkada serentak yang akan diadakan menjelang akhir tahun ini, rasanya rakyat sudah harus paham bahwa mereka akan menghadapi aktor-aktor sandiwara yang paling handal di negeri ini.
Dalam terjemahan buku David Runciman yang berjudul “Politik Muka Dua; Topeng kekuasaan dari Hobbes hingga Orwell”, dituliskan bahwa “demokrasi merupakan tempatnya orang bergaya, penipuan retorikal dan merasa paling benar”. Di sini bukan berarti demokrasi memperlebar peluang orang munafik bisa menjadi seorang pemimpin ataupun menjadi wakil rakyat. Tentu demokrasi memiliki tujuan yang mulia bagi para penganutnya. Yang jadi masalah di sini ialah para aktornya, yang kerap kali melakukan penipuan-penipuan agar menarik perhatian bagi para pemilih.
Masa kampanye merupakan panggung yang paling megah bagi para politisi untuk “mendandani” rupa mereka dengan janji-janji suci, bahkan kadang ada yang membawa ayat ilahi. Seperti apa yang dilakukan Jokowi dan para pemimpin lainnya pada masa kampanye kemarin. Sosoknya yang dikenal dekat dengan rakyat kecil pada akhirnya itu nampak sebagai topeng yang menutupi wajah aslinya. Setelah 1 tahun pemerintahannya lantas tak banyak merubah kehidupan masyarakat miskin. Sejatinya siapapun bisa melakukan penipuan-penipuan kepada rakyat dengan topeng-topeng yang sangat jauh dari sifat aslinya.
Masalahnya apakah janji pada masa kampanye dapat dikatakan sebuah kemunafikan jika pemimpin tersebut gagal merealisasikannya?
Bagi Thomas Hobbes, kemunafikan bukanlah soal ketidaksebandingan antara tujuan dengan hasil. Lebih daripada itu, kemunafikan merupakan perbuatan yang keliru-diniatkan yang didandani agar terlihat seperti perbuatan yang benar diniatkan.
Seorang calon pemimpin sebaiknya harus melihat realitas politik yang terjadi. Menjadi pemimpin tentunya bukanlah menjadi seorang pemimpi yang bisa melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Perhitungan politik yang tepat agar tak terlihat sebagai seorang calon pemimpin yang munafik dikemudian hari merupakan kunci dari keberhasilan selama masa kampanye.
Namun sayangnya hal di atas tidaklah selalu menjadi bahan pertimbangan. Calon pemimpin tampil ke depan publik layaknya seorang pahlawan yang ingin segera menumpas penderitaan masyarakatnya. Janji-janji manis nan suci selalu mereka umbar kehadapan pemilih. Kadang-kadang mereka pun membawa simbol-simbol ilahi agar makin terlihat seperti sang ratu adil.