Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik "Kemunafikan"

22 Oktober 2015   01:23 Diperbarui: 22 Oktober 2015   01:40 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hal tersebutlah yang sebenarnya menjadi awal panggung kemunafikan seorang calon pemimpin. Jika sudah duduk di kursi tertinggi dan dirinya gagal merealisasikan janji-janjinya kepada rakyatnya maka dengan mudah dirinya menyalahkan sistem dan warisan dari pemimpin yang sudah ada.

Lantas apakah rakyat percaya itu semua? Mungkin saja ia, namun yang perlu diingat ialah janji-janji manis yang ia tampilkan pada masa kampanye yang tak bisa segera ia realisasikan merupakan sebuah kesengajaan bukan sebuah kebetulan. Artinya apa, janji tersebut memang sudah ia niatkan untuk tak ditepati. Bukan sebuah ketidak sengajaan karena sistem yang berlaku sebelumnya menghalanginya untuk merealisasikan janjinya.

Hobbes lalu melanjutkan, baginya pada masa kampanye seorang politisi selalu menyembunyikan tujuan mereka sesungguhnya di balik topeng kesalehan dukungan mereka. Inilah kenapa ia menilai politisi adalah orang munafik. Tentu tak ada yang mengira, bahwa rencana mengerikan (kemunafikan) seperti itu begitu mudah dan begitu lama dipertahankan. Bagi Hobbes, hal-hal tersebut disebutnya sebagai “ketidakadilan ganda”; pertama karena ada dosa, kemudian ada dosa lagi karena berusaha menutupinya.

Rupanya bangsa ini sedang berkelahi melawan kemunafikan para politisinya. Tujuan luhur politik dan demokrasi mereka abaikan demi kepentingan kelompokya saja. Kepentingan rakyat bukan lagi dinomor duakan, akan tetapi entah berada dalam urutan keberapa dalam masa kepemimpinannya.

Lalu Bernard Mandeville dalam salah satu karyanya membagi kemunafikan menjadi dua; yakni kemunafikan yang jahat dan kemunafikan yang modern. Yang perlu dikhawatirkan ialah kemunafikan tipe pertama. Mandeville mendefinisikan tipe ini sebagai orang yang berpura-pura dalam urusan agama, meski mereka tahu kepura-puraan tersebut keliru; mereka juga bersusah payah memperlihatkan kesalehan dan ketaatan, agar bisa menjadi penjahat, dengan harapan mereka bisa dipercaya mendapatkan kesempatan menipu orang-orang yang percaya bahwa mereka itu tulus.

Politik rupanya merupakan sebuah panggung kemunafikan yang paling dahsyat bagi penderitaan masyarakat. Banyak calon pemimpin yang memasang topeng dibalik wajah aslinya. Menyerupai berbagai macam tokoh-tokoh fiksi pahlawan, membrantas kemiskinan menjadi tujuan “utamanya”. Orang-orang munafik jahat, bagi Mandeville, ialah orang-orang atau pemimpin-pemimpin yang secara bebas diatur untuk melukai orang lain. Tipuan-tipuan mereka memang sudah diatur secara rapih, agar terlihat seperti orang “saleh” yang baru keluar dari rumah ibadah. Penampilannya sudah diatur sedemikian rupa, bukan untuk apapun, penipuan mereka hanya untuk menghianati janji-janjinya kepada masyarakat.

Bagi John Adams, setiap orang terutama calon pemimpin, bisa berusaha berpura-pura menjadi lebih baik daripada yang sesungguhnya, asalkan ini merupakan salah satu cara paling pasti untuk menarik perhatian masyarakat luas. Dan politik melalui demokrasi merupakan panggung terbesar kemunafikan di Indonesia. Kemunafikan-kemunafikan tersebut makin diperparah dengan sikap rakus politisi yang tak malu-malu lagi melakukan tindak pidana korupsi. Panggung politik rupanya bukan lagi tempat suci untuk mengubah kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun