Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Robohnya Dapur Biduan Dangdut

29 Maret 2015   14:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:50 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari masih siang, pukul setengah dua belas namun suasana perkampungan sangat sepi. Tak ada orang-orang yang berkumpul di depan rumahnya sembari bicara sana-sini mengisi hari. Sudah sedari pagi hujan turun, Andi pun tidak sempat berangkat sekolah. Kondisinya masih kurang sehat. Flu dan demam ringan, sehingga neneknya melarang dia sekolah. Ibunya masih terlelap dalam kamar, tidak seperti biasanya jam 4 subuh baru pulang saat pengeras suara di masjid mengalunkan ayat-ayat kitab suci umat Islam.

Andi mengintip dari balik jendela, dilihatnya hujan masih saja turun. Meski sudah agak reda namun masih saja membuat anak manusia bersemubunyi di dalam rumah. Neneknya asik menonton TV, melihat gosip-gosip artis Indonesia. Dari perceraian sampai kematian. Semua dikemas secara dramatis kadang juga menabrak aturan sana-sini. Namun perempuan tua itu tak mengerti, yang penting dirinya mendapatkan tontonan dalam kesehariaannya. Sedangkan ibunya masih terbaring di atas ranjang, memakai daster secukupnya dia telentang kelelahan. Andi tak pernah mengerti apa yang terjadi setiap harinya.

“Sudah siang, sebaiknya kamu makan lalu istirahat?” Suara nenek memerintahkan Andi untuk segera makan. Tak ada balasan, Andi diam sembari duduk memandang entah kemana. Pikirannya pun sedang berlarian, neneknya tak mampu mengira-ngira apa yang sedang ia pikirkan. Saat yang bersamaan layar televisi asik menayangkan seorang artis yang sedang berlibur bersama keluarganya.

*

“Andi kamu kenapa?” Guru di kelasnya menegur Andi yang sejak mulai pelajaran hanya diam. Sedangkan murid-murid yang lainnya asik mengikuti arahan gurunya dalam belajar menghitung pertambahan. Andi tak menjawab, malah menangis. Semua isi kelas terdiam, kini giliran Andi yang bersuara. Namun suara itu hanya sebuah tangisan, Bu Mita mencoba mendiamkan, namun usahanya sia-sia malahan tangisannya makin menjadi-jadi.

Neneknya yang sedang asik mengobrol dengan ibu-ibu lainnya di luar sekolahan tiba-tiba tergesa-gesa masuk ke dalam sekolah. Menengok cucunya yang menangis. Di bawanya keluar kelas sesuai arahan dari Bu Mita. Dia mencoba mendiamkan, namun tak juga berhasil. Dipegang-pegang tubuhnya, tak menunjukkan cucunya tersebut sakit. Setelah mendapatkan ijin dari Bu Mita, Andi dibawanya pulang ke rumah. Kemudian cucunya pun diam seribu bahasa.

Beruntung, setelah diperiksakan ke Puskesmas kondisi Andi tidak apa-apa. Suhu tubuhnya normal begitu juga dengan tensi darahnya. Neneknya lega dengan kondisi tersebut, maklum saja sebelumnya Andi sakit. Dirinya takut kalau cucunya tersebut harus menderita sakit kembali.

*

Sehabis maghrib, Minah sudah mulai sibuk merias diri. Dipakainya peralatan kecantikan yang ada di depan cerminnya. Lipstiknya merah merona. Wajahnya mulus. Kulitnya sangat putih dengan perawatan yang seadanya. Dia memang sangat beruntung memiliki bentuk tubuh dan juga warna kulit yang hampir sempurna. Terlebih suaranya yang aduhai dalam memikat hati laki-laki. Dirinya tak perlu repot-repot melakukan perawatan yang mahal agar pesonanya terlihat di mata lelaki.

Di saat yang bersamaan Andi memperhatikannya dari balik pintu. Seakan ingin sekali menahan Ibunya untuk tidak pergi di malam hari. Agar bisa menemani malamnya, mengajarkan hitung-hitungan, membimbingnya membaca, dan bahkan membacakan cerita untuknya menjelang tidur.

“Kamu kenapa?” Minah menegur Andi yang masih saja berdiri memperhatikannya. Lagi-lagi Andi yang dikenal pendiam tak menjawab pertanyaan ibunya. Ia berpaling, pergi menuju neneknya yang asik menonton tv. Duduk dipangkuan nenek tua sambil memungut kasih sayang yang tersisa dari umurnya.

Minah keluar dari kamar, sebelum pergi dirnya terlebih dahulu menyapa anak dan juga ibunya. Ia perhatikan sekali lagi penampilannya melalui kaca depan rumahnya. Cantik dirinya, seperti malam-malam sebelumnya. Dengan berbalut celana jeans dan jaket jeans yang sama warnanya dia keluar rumah. Sedangkan tetangga yang melihatnya berjalan kembali membicarakan dirinya. Mulai dari kencantikannya sampai pekerjaannya. Minah pergi saja tanpa menghiraukan ocehan tetangganya.

*

Pukul setengah delapan malam. Setelah Minah pergi, mereka kini hanya berdua. Andi terlelap dalam kehangatan kasih sayang neneknya. Ia tiduran di paha perempuan tua tersebut. Tv masih menyala. Hiburan mengisi waktu malam. Tok tok tok. Terdengar ketukan pintu dari luar rumah. Siapa gerangan yang datang. Rumah yang tak begitu luas, bentuknya hampir sama menyerupai kontrakan. Satu ruang tamu, dua kamar tidur dan satu dapur dan juga kamar mandi. Tak terlalu luas bidangnya. Hanya dibagi sepersekian kecil saja. Dua orang perempuan dan satu anak kecil tinggal di rumah tersebut.

Nenek memindahkan posisi kepala Andi dari pahanya secara perlahan. Kemudian ia bukakan pintu. Pak RT Husin datang bersama dua orang warga lainnya. Lalu mereka duduk di ruang tamu sekaligus ruang keluarga dan juga menonton tv. Sedangkan Andi sudah telelap tidur, dirinya tak mengetahui bahwa ada orang datang. Nenek mohon ijin ke dalam menyajikan minuman untuk tamu-tamunya.

Bicara basa-basi sana-sini menjadi awal pertemuan mereka. Pak RT lebih banyak mendominasi obrolan. Bicara tentang lingkungan warganya dan juga berbagai agenda yang akan dilakukan kedepannya. Nenek hanya terpaku mendengar, sedang dua orang lainnya asik mengamati rumah sederhana ini.

Tak lama kemudian Pak RT menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya. Setelah ngobrol ngalor-ngidul dia mengatakan bahwa ada sebuah amanah dari warga yang ingin dia sampaikan. Matanya juga memperhatikan dinding rumah tersebut. Tak ada sebuah foto pernikahan Minah yang tergantung dari tembok rumah yang bercat biru muda.

Dengan bahasa yang lemah lembut, Pak RT mengatakan bahwa sudah banyak warga yang memperhatikan pekerjaan yang Minah lakukan. Banyak warga yang melihat bahwa Minah sering pulang subuh diantar bersama pria yang berlainan di setiap harinya. Banyak yang resah dan bertanya-tanya apa pekerjaannya terlebih tubuh dan dandanan Minah terlihat seksi dan begitu menggoda.

Nenek hanya diam mendengar hal tersebut. Belum satu katapun yang keluar dari mulutnya Pak RT kembali melanjutkan. Dari mulutnya keluar bahwa warga meminta Minah untuk berhenti berkelakuan seperti itu atau pindah dan angkat kaki dari tempat tinggalnya. Karena sudah banyak ibu-ibu yang mencemaskan suaminya tergoda oleh penampilan dan kebiasaan Minah.

Andi masih tertidur, sedangkan neneknya merasa kaget mendengar tuntutan warga yang disampaikan oleh Pak RT. Dia hanya diam dan meminta maaf kepada tiga orang yang bertamu ke rumahnya. Sementara masalah pekerjaan anaknya tersebut nanti akan dia bicarakan dengan Minah.

Setelah meminum teh yang disajikan, Pak RT dan juga dua orang itu berpamitan. Mereka keluar dengan rasa tanya, siapa gerangan suaminya Minah?

*

Pukul sebelas malam. Andi sudah berpindah tempat. Kini ia nyaman tidur dalam kehangatan seorang perempuan tua. Di luar sana angin bertiup perlahan. Rintik hujan terdengar pelan di atas genteng rumah. Pada saat seperti ini hal tersebut tak lah aneh. Malam hari angin dan hujan datang sedangkan di siang hari panas menemani sampai tenggelamnya mentari.

Pada sebuah jalan pihak berwajib telah bersiap melakukan penggrebekan sebuah Café dangdut. Mereka mendapatkan laporan dari warga bahwa di tempat tersebut sering kali terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya orang timur. Minuman keras, porstitusi dan peredaran narkoba. Hal-hal yang buruk tergambarkan dari luar café tersebut.

Minah sedang bernyanyi. Dengan pakaian yang mampu menarik nafsu kaum lelaki dia melenggek lenggokkan kemolekan tubuhnya. Lelaki berhamparan di hadapannya duduk rapih di meja-meja sekaligus ditemani dengan minum-minuman beralkohol. Asap rokok mengepul ke udara memenuhi isi ruangan. Sebuah teriakan datang, “Semua diam dan angkat tangan.” Rupanya pihak berwajib telah masuk ke dalam café. Minah dan seluruh isi ruangan kaget. Ada yang mencoba untuk kabur namun dapat dibekuk oleh intel yang menyamar jadi seorang pengunjung.

Penggrebekan berjalan lancar. Namun tak didapati pemilik café tersebut. Minah dan lainnya di bawa ke kantor untuk dimintai keterangan. Ada saja selentingan yang keluar. Penggrebekan tersebut bukanlah karena adanya laporan dari warga, namun karena belum dibayarkannya jatah bulanan pihak pengelola café kepada mereka. Namun Minah tak mempedulikan hal tersebut. Ia yang hanya seorang janda yang ditinggal pergi oleh suaminya sedang merasa takut kalau esok hari ibu dan anaknya tidak bisa makan. Maklum saja, dari dirinyalah rejeki didapatkan.

Minah merupakan seorang biduan dangdut pada salah satu orkes dangdut yang ada di kotanya. Namun jika hanya mengharapkan penghasilan dari jadwal manggung tidak akan mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Makanya dia memberanikan diri untuk menyanyi di café yang dicurigai sebagai tempat porstitusi. Bahkan dirinya pun mengetahui para tetangganya sudah banyak yang menuduhnya sebagai perempuan malam. Namun Minah tak mempedulikannya. Yang penting ia sadar bahwa dirinya bukanlah seorang pelacur meskipun tawaran-tawaran untuk melayani seks selalu datang dari pria hidung belang yang berkunjung pada café tersebut.

*

Dua malam sudah Minah tak bekerja. Selain karena tempat kerjanya disegel oleh pihak berwajib, ibunya juga meminta untuk Minah mencari pekerjaan lain. Ibunya dengan rasa keibuaan yang telah dimilikinya bertahun-tahun menyampaikan permintaan Pak RT. Minah tak menjawabnya. Tak mengiyakan dan tak juga menolaknya. Yang Minah pikirkan hanyalah sudah dua hari ini dapurnya telah “roboh”. Tak ada makanan yang enak, tak ada susu untuk memberi pertumbuhan kepada Andi.

Sudah dua hari seorang biduan sedang bingung karena banyak orang yang menuduhnya perempuan malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun