[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="hadi poernomo /kompasiana (kompas.com)"][/caption]
Jika di tahun politik ini sebelum pelaksanaan Pemilu 2014 pemberantasan korupsi didominasi parade pemberantasan korupsi dikalangan politisi maka seolah mengulangi momentum kembali, pendulum pemberantasan Korupsi mengarah ke Direktorat Jenderal Pajak, struktur eselon 1 (satu) di Kementerian Keuangan yang bertanggungjawab penuh terhadap lebih dari 75 % (tujuh puluh lima persen) APBN. Bukan menjadi rahasia umum jika kasus korupsi yang menyangkut jajaran Dirjen Pajak akan menjadi isu seksi di Republik ini, tentu saja yang tidak boleh dinafikan semuanya dengan banyak kepentingan baik itu bisnis maupun politis. Pemberantasan korupsi di jajaran Dirjen Pajak seolah mengingatkan kembali tabir kebenaran korupsi yang dilakukan Jajaran Ditjen Pajak dari mulai kasus Gayus Tambunan, Bahasyim hingga parade kecil lainnya. Dan terakhir dengan ditetapkan Hadi Purnomo sebagai tersangka korupsi semasa menjabat di Dirjen Pajak menambah besar keyakinan publik bahwa intitusi yang kini kian berbenah secara internal diragukan kredibilitas dan integritasnya sebagai pemungut penerimaan negara nomor wahid ini, Benarkah Demikian?
Penetapan Mantan Ketua BPK Hadi Poernomo sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus pajak PT BCA yang diduga dengan kewenangannya sebagai Dirjen Pajak pada tahun2004 lalu mempengaruhi keputusan menerima keberatan atas ketetapan pajak PT.BCA, Saat itu ada keberatan wajib pajak sebesar Rp 5,7 triliun yang diduga diputus bebasatas pengaruh Dirjen pajak saat itu. Benarkah keputusan menerima keberatan wajib pajak mengindikasikan adanya kerugian negara dimana hal tersebut berpotensi sebagai tindak pidana korupsi?
Beberapa pemberitaan media nasional kini mengutip hal serupa terkait apa yang dijelaskan Ketua KPK Abraham Samad terkait penetapan Hadi Purnomo sebagai tersangka, semua media bahkan punya tagline yang sama bahwa Bank PT.BCA mempunyai kredit pajak atau utang pajak dan Ditjen Pajak menyalahi aturan dengan cara mengabulkan permohonan keberatan wajib pajak, disinilah letak sesat pikir yang penulis perlu garis bawahi agar tidak menjadi langkah kontraproduktif dari semangat jajaran Ditjen pajak menghimpun penerimaan negara yang sangat vital.
Terlepas dari hasil penyidikan yang dilakukan KPK selama setahun terakhir ini atas laporan masyarakat ada baiknya kita mengenal lebih singkat siapa sosok Hadi Purnomo yang dalam deretan karirnya begitu prestisius, bahkan jauh sebelum jabatan Dirjen Pajak yang akhirnya mengantarkannya sebagai Ketua BPK. Hadi Purnomo yang kerap dipanggil sapaan akrabnya dengan panggilan “PAK PUNG” oleh jajaran Dirjen Pajak adalah pegawai pemerintah yang mengawali karirnya dibidang keuangan, sosoknya juga pernah menjadi analis keuangan Badan Intelijen Negara. Sosok Hadi purnomo di internal Ditjen Pajak sangat disegani mengingat dimasa sebagai Dirjen pajak secara internal Ditjen Pajak sangat solid dan sosok Hadi Purnomo jugalah yang menjadi pionir pencanangan gerakan moral bersih di Dirjen pajak yang selanjutnya bergulir hingga sekarang menjadi gerakan modernisasi perpajakan.
Kiprahnya di dunia luar sebagaimana yang dilansir dalam detik.com (22/04/2014) Di bawah kepemimpinan Hadi Purnomo, Ditjen Pajak sebenarnya pernah menorehkan prestasi. Meski banyak dikeluhkan karena buruknya pelayanan, namun ternyata berdasarkan survei yang dilakukan Bank Dunia, pelayanan pajak Indonesia merupakan yang terbaik dari 23 negara. Untuk urusan sogok menyogok pajak, dari 43 negara yang disurvei Bank Dunia, Indonesia menempati urutan ke-9. Survei Bank Dunia itu merupakan bagian dari laporan Bank Dunia No. 31708 yang dipublikasikan tanggal 24 Februari 2005. Hasil survei itu pernah dengan bangga disajikan oleh Menkeu Jusuf Anwar dalam rapat dengar pendapat mengenai RUU Perpajakan dengan DPD di DPR, Rabu (16/11/2005) silam. Dalam hal pajak terutang, dari hasil survei 154 negara, Indonesia menempati peringkat 53. Untuk tarif pajak, dari 51 negara, Indonesia menempati peringkat ke-17.
Maka adalah menarik dicermati bahwa institusi perpajakan kerap dijadikan model atau triger pemberantasan korupsi sehingga simpati publik semakin menguat pada lembaga pemberatasan korupsi dan disisi lain justru akan melemahkan jajaran Ditjen pajak sebagai garda terdepan kemandirian bangsa dengan penerimaan negara yang sangat signifikan. Disinilah letak model pemberantasan korupsi yang perlu secara kritis di simak dengan benar dan hati-hati karena selamanya kasus perpajakan akan tetap ada seiring dengan kewenangann yang berhubungan dengan pemungutan pajak atau uang dalam jumlah yang sangat besar. Menarik dijadikan momentum bahwa kasus ini bisa jadi gerakan penyadaran pajak atau tidak bermain-main dalam ranah kepatuhan pajak dibalik motif pemberantasan korupsi itu sendiri, yang publik belum tahu dan menimbulkan sangkaan adalah kenapa terbongkarnya kasus korupsi yang terbilang lama yaitu selama 10 tahun, penetapan tersangka yang ditetapkan saat Hadi Purnomo sudah memasuki pensiun dan bertepatan dengan hasil audit kasus Bank century yang kita tahu sarat akan kepentingan politik.
Menjadikan sasaran stigma bahwa intitusi Ditjen Pajak merupakan sarang korupsi adalah tuduhan paling menyakitkan ditengah pembenahaan besar-besaran di internal Ditjen pajak. Dalam sistem model pelayanan dan regulasi yang dikeluarkan bahwa Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak pernah meraih perhargaan Indonesia Brand Champion Award 2013 untuk kategori Layanan Publik. Ditjen Pajak juga dinobatkan sebagai “The Most Trusted Public Institution” dengan peringkat bronze untuk kategori instansi kementrian (ministry). Indonesia Brand Champion Award merupakan sebuah penghargaan yang diberikan oleh lembaga survey marketing, MarkPlus Insight bersama dengan majalah Marketeers. Adapun penghargaan untuk kategori Layanan Publik diberikan sebagai apresiasi terhadap instansi publik yang telah memberikan pelayanan dan kebijakan terbaik bagi masyarakat selama satu tahun terakhir. Layanan baik, terukur dan tidak berbayar diseluruh Kantor Pelayanan Pajak akan dirasakan langsung oleh para wajib pajak dalam 7 tahun terakhir sejak tahun 2008 dimana seluruh jajaran Ditjen pajak melakukan modernisasi organisasi, maka wajar jika kita ambil kesimpulan bahwa kasus yang menimpa jajaran ditjen pajak baik dahulu, sekarang atau yang akan datang merupakan kejahatan sistematis dalam lembaga tersebut adalah TIDAK BENAR.
Menarik juga kita cermati pada substansi kasus yang disangkakan pada Hadi Purnomo terkait kasus tersebut,pengajuan keberatan wajibpajak atas ketetapan pajaknya bukan merupakan kredit pajak yang menjadi potensi penerimaan karena proses penetapan ketetapan pajak yang dilakuakan Ditjen pajak sejatinya merupakan proses rutin yang dilakukan setiap unsur pemeriksa pajak di kantor pelayanan pajak dari pemeriksaan atas kepatuhan dan kebenaran pelaporan pajaknya selama ini. Atas penetapan besarnya pajak kurang bayar bukan menjadi kredit pajak atau sederhananya belum menjadi potensi penerimaan pajak karena proses lanjutannya Undang-Undang memberikan keberimbangan bagi wajib pajak untuk mendapatkan keadilannya dengan proses keberatan. Dengan demikian keberatan yang diajukan PT. BCA merupakan hak wajib pajak yang diatur dalam undang-undang yang sah secara formal dan materiil disini tidak ada unsur kecurigaan ataupun upaya tindak pidana korupsi, maka menjadi lumrah bahwa suatau badan usaha atau perorangan mengajukan keberatan atas penetapan pajaknya.
Selanjutnya bahwa proses keberatan saat itu ditahun 2004 diberikan kewenangan kepada Ditjen pajak melalui bagian yang berbeda disetiap tingkatan dengan memperhatikan jumlah besaran ketetapan pajak yang ada, maka jika nominalnya seperti yang diberitakan sesuai aturan juga proses keberatan dilakukan dan diputuskan oleh Kantor Pusat Ditjen Pajak. Jadi keputusan keberatan yang dilakukan Ditjen pajak akan ditandatangani oleh Dirjen Pajak itu sendiri. Sesuai aturan juga Ditjen pajak diberikan kewenangan untuk memutus pengajuan keberatan wajib pajak itu selama 12 (dua belas) bulan jika lewat dari itu tentu saja permohonan wajib pajak secara formal dikabulkan seluruhnya sesuai pengajuan wajib pajak. Memutus keberatan itu diterima atau tidak itu juga dilindungi Undang-Undang dalam rangka memberikan kepastian hukum dan memberikan keadilan bagi wajib pajak. Bahkan dalam analisa sederhana jika ketetapan pajak tidak diterima dan wajib pajak selanjutnya mengajukan mekanisme banding di pengadilan pajak dan di majelis banding diterima maka negarapun harus membayar pokok pajak yang kurang bayar tersebut plus bunga lebih bayar atas pokok pajak yang disangkakan itu. Dengan demikian keputusan Ditjen pajak menerima seluruhnya, menerima sebagian dan ataupun menolak keberatan wajib pajak bukan merupakan tindak pidana dalam hal korupsi.
Maka perlu dicermati dan disimak lebih dalam bahwa pendulum pemberantasan korupsi yang terjadi atas Hadi Purnomo sejatinya tidak akan menemui titik akhir karena masih banyak carut marut yang menjadi misteri, hanya KPK dan Tuhan sajalah niat dan tujuan akhir semua ini. Wallahualam bi showab.
* pendapat tulisan pribadi dan tidak mewakili intitusi dimana penulis bekerja.
* Ditjen pajak (Direktorat Jenderal Pajak/Indtitusi); Dirjen Pajak (Direktur Jenderal Pajak/Jabatan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H