Sampai hari ini jumlah petugas pemilu legislatif dan presiden 2019 (KPPS) sudah mendekati 500 0rang. Banyak orang (terutama dari pihak paslon 02) yang curiga kematian sebegitu banyak orang merupakan kematian yang tidak wajar. Mereka  yang meninggal mungkin diracun? (di benak mereka).  Maka beramai-ramailah mereka meminta hal tersebut diselidik. "Mayat-mayat mereka harus diotopsi", tuntut mereka.
Namun apakah memang tidak wajar? Atau justru wajar-wajar saja? Kita hitung saja secara kasar tapi tetap memakai data yang riil. Untuk pilpres ditambah pileg 2019 ini ada lebih daripada 800.000 TPS, dengan jumlah petugas sekitar 7 jutaan. Tingkat mortalitas rata-rata Indonesia sekitar 6 per 1.000 0rang (0.6%) per tahun.
Jika dalam sebulan ada 500 kematian dari suatu populasi, dihitung secara kasar, dalam setahun ada 6.000 yamg meninggal. Itu artinya tingkat kematian adalah 0.086% atau  0,86 kematian per 1.000 orang per tahun. Angka ini jauh lebih rendah daripada angka rata-rata kematian  nasional 6 per 1.000. Dan jangan lupa bahwa beban kerja yang tidak normal dari biasanya akan menaikkan probabilitas kematian atau angka mortalitas.
Jika kita bandingkan dengan tingkat kematian petugas pemilu tahun 2014 adalah sekitar 150 orang angka 500 terlihat tinggi. Namun jangan lupa bahwa  beban kerja 2019 jauh lebih berat daripada 2014. Ditambah lagi jumlah TPS 2019 2 sampai 3 kali lipat dibandingkan 2014. (karena jumlah pemilih  2014 maksimal  800 orang per TPS dibandingkan dengan 300 orang di 2019 yang berarti jumlah petugasnya juga lebih banyak daripada tahun 2014).  Karena itu menurut data-data tersebut kematian 500 (2019) berbanding 144 (2014) tidak terlalu aneh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H