Mohon tunggu...
Sutan Dijo
Sutan Dijo Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pria

Saya tinggal di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Financial

Freeport Milik Indonesia tapi Kenapa Dibeli Indonesia?

26 Desember 2018   01:46 Diperbarui: 26 Desember 2018   01:50 1952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2021 kontrak karya PT. Freeport Indonesia berakhir, setelah itu Freeport menjadi milik Indonesia, gratis, kenapa malah dibeli mahal?

Ungkapan-pertanyaan seperti itu banyak beredar di masyarakat-medsos ; menunjukkan kerancuan pemahaman, mungkin karena kurangnya informasi dari pemerintah sendiri.

Yang pertama, PT. Freeport Indonesia (PTFI) itu bukan milik Indonesia, tapi milik pemegang saham PTFI. Pemegang saham mayoritas PTFI adalah perusahaan Amerikam bernama Freeport MacMoran.

Yang kedua, tanah yang dikontrak-kelola PTFI memang adalah tanah milik Indonesia, jadi tidak mungkin dibeli oleh Indonesia.

Ketika kontrak tersebut habis bukan berarti PTFI beralih dengan sendirinya kepada Indonesia, tetapi tanah yang dikontrakan tersebut yang kemudian dikembalikan penguasaannya kepada Indonesia. Lalu mau bagaimana? Mau dikelola sendiri oleh pihak Indonesia dan PTFI disuruh pergi? Atau PTFI dibeli oleh pihak Indonesia, atau bagaimana?

PTFI sendiri isinya adalah berbagai macam aset produktif yang digunakan untuk mengelola-mengeksploitasi tanah yang mengandung barang tambang yang bernilai tinggi tersebut (tembaga dan emas). Aset ini terdiri dari aset tangible (berwujud) seperti mesin-peralatan, struktur-bangunan, segala macam infrastruktur, dan aset lain-lain;  dan aset  intangible (takberwujud) seperti teknologi, keahlian, pengalaman, ketrampilan, pengetahuan, dan data-informasi. Tanpa berbagai aset ini barang tambang tetap tersembunyi di dalam bumi, tak ada gunanya sama sekali.

Jadi Indonesia punya sumberdaya alam, PTFI punya sumberdaya manusia dan modal. Kedua unsur ini harus disatukan barulah menghasilkan kemakmuran yang berlimpah. Emas dan tembaga ditambang, hasilnya dijual, dan menghasilkan uang/devisa. Berdiri sendiri-sendiri, kedua unsur itu tidak menghasilkan banyak, sedikit sekali.

Singkat kata, sudah terjadi saat ini, sebagian saham PTFI dibeli oleh Indonesia sehingga Indonesia menguasai 51% saham, dan Amerika memiliki 49% saham. Kesepakatan ini mencerminkan kondisi saling membutuhkan dan sinergi seperti yang dijelaskan di atas. Ini adalah win-win solution, kesepakatan yang memuaskan-menguntungkan kedua belah pihak.

Lalu mengapa tidak kita miliki saja PTFI 100% karena tanah itu milik Indonesia, beli murah PTFI dan suruh pihak asing pergi ; sehingga Indonesia yang menikmati kemakmuran dari tanah ndonesia sendiri. Solusi ini (100% Indonesia, 0% asing) bukankah jauh lebih baik daripada solusi pemerintah sekarang (51% Indonesia, 49% asing)? Sepintas kelihatannya demikian, solusi Win-Lose ini lebih baik daripada solusi Win-Win.

Namun seperti biasanya solusi win-lose akan segera berubah menjadi lose-lose. Freeport MacMoran (AS) akan menderita kerugian sangat besar karena aset mereka akan lenyap begitu saja. Segala infrastruktur yang nilanya miliaran USD akan terpaksa mereka tinggalkan, demikian juga mesin-peralatan-bangunan tidak mungkin mereka bawa karena tidak ekonomis, sehingga harus dijual murah sebagai besi tua. Kerugiannya bisa ratusan triliun rupiah. Jika ini terjadi maka induk dari PTFI yaitu Freeport macMoran Amerika hampir pasti akan bangkrut. Lalu apakah mereka akan menerima solusi seperti itu begitu saja. Nampaknya tidak akan.

Ada celah dalam klausula-klausula tertentu dalam perjanjian kontrak karya antara PTFI dan pemerintah RI. Tidak disebutkan secara tegas dan pasti bahwa tahun 2021 Indonesia bisa menghentikan/tidak melanjutkan kontrak karya begitu saja, dan menyuruh PTFI pergi. Klausula-klausula tsb multitafsir, dan inilah celah yg bisa dipermasalahkan oleh PTFI. Di samping itu pemerintah AS sendiri pasti tidak akan tinggal diam dan akan berusaha membela kepentingan perusahaannya. Mereka pasti akan menekan, dan tekanan itu akan cukup membuat Indonesia limbung.

Secara hukum mereka akan membawa masalah ini ke badan arbitrase internasional. Perselisihan bisa makan waktu bertahun-tahun, kemenangan bagi Indonesia belum tentu. Semetara itu tambang berhenti beroperasi, peralatan akan rusak, tenaga kerja terpaksa di PHK, pemerintah berhenti menerima royalty dan pajak, para pemasok, dan karyawan beserta keluarganya, berhenti menerima pendapatan dari PTFI. Sementara itu kemenangan belum pasti. Jika Indonesia kalah alangkah besar kerugian yang akan diderita, berapa besar ganti rugi yang harus dibayar.

Jika menang di badan arbitrase, juga tetap rugi, karena disamping tambang tidak bisa beroperasi dalam waktu lama dan rusak, kemungkinan sangat kecil Indonesia sendiri tanpa PTFI bisa meneruskan operasi tambang tersebut. PTFI sudah mengumpulkan informasi-pengetahuan dan keahlian dalam mengelola tambang tersebut selama 50 tahun. Tambang tersebut merupakan tambang bawah tanah yg sangat kompleks, paling kompleks di dunia. Di dalamnya ada jaringan jalan yang panjangnya bisa mencapai ratusan kilometer, dsb. Tidak ada bukti, referensi atau petunjuk bahwa sumberdaya manusia Indonesia sudah mampu melanjutkan operasi tambang tsb sendiri ; Jadi kemungkinan sangat besar Indonesia tidak akan bisa mengoperasikan tambang tsb secara ekonomis seperti yg dilakukan oleh PTFI selama ini, sehingga pada akhirnya tambang tsb tidak akan menghasilkan apa-apa lagi, selain masalah. Itu belum lagi memperhitungkan kerugian reputasi Indonesia di mata investor internasional. Win-Lose menjadi Lose-Lose.

Yang terbaik dan optimal sudah dilakukan oleh pemerintah RI. Dengan 51% saham PTFI, Indonesia mengontrol manajemen, sehingga kita bisa menentukan arah kebijakan yang menguntungkan Indonesia di bidang perpajakan, penyerapan tenaga kerja, perlindungan lingkungan, penggunaan dana social, dsb. Di samping itu nama Indonesia semakin terangkat karena mampu menyelesaikan masalah pelik ini secara sangat baik, bijaksana, dan fair; reputasi Indonesia semakin baik di mata investor, dan iklim investasi semakin kondusif.

Pada dasarnya, walaupun Indonesia hanya menguasai 51% saham sehingga hanya setengah dari laba PTFI yang menjadi milik kita, sebenarnya sebagian besar pendapatan PTFI kita yang menikmati. Laba itu sendiri, baik laba menurut pengertian akuntansi maupun perpajakan, adalah sebagian saja, dan merupakan residual/sisa, dari pendapatan total yang dihasilkan suatu perusahaan. Kalau pendapatan suatu perusahaan dianggap sebagai kue maka laba itu adalah bagian kue terakhir yang masih tersisa bagi pemegang saham/investor. Sebelum mereka boleh mendapat bagian kue tsb terlebih dahulu kue dibagikan dulu kepada para pemasok yang menjual barang dan jasa kepada perusahaan, kemudian kepada karyawan-tenaga kerja, kepada kreditur yang memberikan pinjaman dana, kemudian kepada pemerintah dalam bentuk berbagai macam jenis pajak dan royalty; jika masih ada sisa (ini yg disebut laba) barulah itu menjadi milik investor. Jadi Negara tempat suatu perusahaan itu berdiri-beroperasi adalah yang paling mungkin mendapat porsi kue terbesar, bukan para investornya yang mendapat kue paling akhir dan yang menanggung risiko rugi.

Lalu apakah harga beli saham PTFI yang harus dibayar Indonesia sebesar USD 3,85 miliar (Rp55 T) tidak terlalu mahal? Kandungan tanah yg digarap PTFI adalah barang tambang senilai USD 150 miliar (cadangan yang sudah terbukti), dibandingkan USD 3,85 miliar yg harus dibayar Indonesia. Keuntungan bersih rata-rata PTFI setahun adalah USD 2 miliar, bagian milik Indonesia USD 1 miliar. Jadi dalam 4 tahun uang pembelian sebesar USD 3,85 miliar sebenarnya sudah balik modal. USD 3,85 miliar dibiayai dengan utang internasional (obligasi) dengan jangka waktu antara 3  sd 30 tahun. Pembayaran utang dibiayai dengan dividen dari PTFI sendiri, bukan dari APBN. Tidak ada aset yang digadaikan, para investor sangat percaya dan tidak meminta jaminan.

Akhir kata, menurut hemat penulis, deal yang terjadi ini adalah suatu penyelesaian yang sangat baik, malah terbaik, win-win solution, yang akan memberikan manfaat jangka pendek dan jangka panjang kepada rakyat Indonesia, rakyat Papua, tanpa merugikan-mengecewakan pihak lain. Kedua belah pihak untung-puas, dalam suatu transaksi tidak ada yg lebih baik dari ini.

Mohon pengertian dan kebijaksanaan para politisi agar memandang masalah ini dengan besar hati, dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan-kepentingan politik golongan berjangka-pendek (pil-pil itu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun