Mohon tunggu...
Sutan Dijo
Sutan Dijo Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pria

Saya tinggal di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Teori Keuangan pada Pilkada DKI 2017

5 Oktober 2016   23:46 Diperbarui: 5 Oktober 2016   23:50 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Menurut hasil survei terakhir Pilkada DKI 2017 yang dilakukan oleh lembaga survei Median (Kompas.com, 5 Oktober 2016), pasangan Ahok-Jarot tetap berada pada posisi teratas dengan 34%, oleh disusul Anies-Uno dan Agus-Sylvi masing-masing 25% dan 21%. Kira-kira 19-20% belum menentukan pilihan. Dengan demikian keunggulan Ahok tidak lagi terlalu dominan, cenderung menurun.

Masih menurut Median, ketidaksukaan masyarakat terhadap Ahok didominasi oleh masalah karakteristik personal, sedang mengenai kinerja diakui (bagus).

Apakah Ahok-Jarot akhirnya akan kalah? Tergantung bagaimana piawainya masing-masing tim memanfaatkan waktu yg tersedia. Namun petahana cenderung lebih sulit dikalahkan, apalagi jika masyarakat sudah puas dengan kinerjanya.

Jika menerapkan teori keuangan yang disebut behavioral finance(BF), khususnya perilaku Loss -Aversion Bias , pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Uno perlu bekerja sangat keras ditambah keberuntungan untuk bisa mengalahkan Ahok-jarot. (analisis ini tidak memeperhitungkan dan membahas faktor bias lain yg bernama Belief Perseverance, yg tidak dibahas dalam tulisan ini karena akan terlalu panjang).

BF merupakan penggabungan bidang studi ilmu keuangan dan ilmu jiwa (perilaku manusia). Perilaku insan keuangan di pasar modal diteliti untuk mengidentifikasi berbagai bias dari perilaku yg rasional. Karena subyek yg diteliti adalah perilaku manusia, maka teori dan berbagai penelitian di bidang ini juga dapat diterapkan pada bidang-bidang lain selain keuangan/pasar modal. Termasuk, bisa diterapkan juga untuk menganalisis (kecenderungan perilaku pemilih) Pilkada DKI 2017.

Loss-aversion bias diidentifikasi oleh peneliti Daniel Kahneman dan Amos Tverski pada tahun 1979. Intinya ada kecenderungan takut rugi yang berlebihan di antara insan keuangan. Rugi lebih berat bobotnya daripada untung, dan kepastian lebih berat bobotnya daripada ketidakpastian.

Sebagai contoh jika seorang investor diberikan 2 pilihan : A. Investasi dengan keuntungan sebear Rp.100 yang sudah pasti, atau B. Investasi dengan tingkat kemungkinan yg sama, untuk mendapatkan untung sebesar Rp. 200 atau tidak medapatkan sama sekali (0). Jadi tingkat keuntungan yang diharapkan dari pilihan B adalah Rp. 100, sama dengan pilihan A. Namun, sebagian besar orang akan memilih A daripada B. Karena ada ketidakpastian di pilihan B.

Jika investor yg dalam posisi rugi diberi 2 pilihan : A. Investasi dengan kemungkinan yg sama, untuk rugi sebesar 400 dan untung 200, atau B. kerugian yg sudah pasti sebesar Rp. 100. Maka investor akan memilih pilihan A, karena kerugian yg sudah pasti lebih besar bobotnya (lebih menyakitkan) daripada kerugian yg belum pasti.

Sekarang, dengan posisi Ahok-jarot sebagai petahana berarti ini adalah posisi alternatif yg sudah pasti. Masyarakat sudah tahu plus minus Ahok-Jarot, sudah tahu kinerja maupun kelemahan mereka. Jika Ahok-Jarot dianggap bagus kinerjanya (posisi untung) maka masyarakat akan cenderung untuk mempertahankan posisi tersebut daripada berspekulasi dengan memilih pasangan lain yg belum terbukti. Jika masyarakat memprediksi bahwa kinerja pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Uno sama atau hanya sedikit lebih baik daripada Ahok maka masyarakat akan cenderung lebih memilih Ahok-Jarot yang sudah pasti/diketahui kinerjanya.

Ini sesuai dengan peribahasa “ harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”. Artinya hasil yg sudah pasti lebih pantas dipertahankan dibandingkan dengan hasil yg belum pasti. Demikian juga ini sesuai dengan teori keuangan lain yg disebut “Bird-in hand theory”. Yang menyatakan bahwa investor lebih menyukai dividen (untung yg sudah pasti diterima) daripada untung yg tidak dibagikan (baru potensi, belum terealisasi).

Kembali ke teori Loss-Aversion Bias. Menurut teori ini petahana hanya bisa dikalahkan jika :

Kinerja petahana kurang memuaskan (paralel dengan posisi investor yg rugi). Dalam situasi ini masyarakat akan cenderung berspekulasi untuk memilih calon selain petahana dengan mengambil risiko calon tersebut bisa saja ternyata lebih jelek.

Kinerja petahana sudah bagus (paralel dengan posisi investor yg untung), namun kinerja penantang diprediksi jauh lebih bagus. Tidak sekedar sama atau sedikit lebih bagus, namun harus jauh melebihi petahana.

Karena dalam kasus Pilkada 2017 petahana Ahok-Jarot dinilai sudah bagus kinerjanya (menurut survei), maka tiada jalan lain bagi pasangan Anies-Uno dan Agus-Sylvi untuk menyakinkan masyarakat bahwa mereka akan jauh lebih baik daripada Ahok-Jarot. Tidak sekedar lebih baik, namun harus jauh lebih baik.

Bagaimana mengenai faktor perilaku Ahok yang katanya tidak disukai, terutama kata-kata kasarnya? Menurut penulis, dalam survei bisa saja ini mempunyai pengaruh terhadap elektabilitas Ahok. Namun, begitu ada di bilik suara maka hal suka atau tidak suka akan erilaku kasar Ahok menjadi tidak penting lagi dibandingkan kepentingannya sendiri. Bagi pemilih, mereka akan memilih calon yg memberikan keuntungan (kesejahteraan, terutama materi) yg paling banyak bagi dirinya dan keluarganya. Artinya calon gubernur yang kinerjanya bagus mnjadi pertimbangan utama.

Asalkan pemilih merasa menerima manfaat/disejahterakan, misalnya melalui pelayanan sosial yg bagus, pelayanan pegawai pemerintah bagus, jalan bagus, sungai bersih, sekolah gratis, pengobatan gratis, fasilitas umum bagus, keamanan bagus, korupsi diberantas, dll, maka kalau soal Ahok ngomongnya kasar dan pedes, “sebodo teuing”. (Tentunya, asal jangan kasar kepada saya/pemilih). Kalau Ahok kasar kepada anggota DPR, politisi, saingan politik, pegawai dan pejabat Pemda yg brengsek, tentunya tidak akan berpengaruh kepada pemilih/rakyat yg tidak terkena langsung kekasarannya (hanya melihat via TV dan media). Sebaliknya, omongan yg santun dan penampilan yg menawan, biarpun disukai, akan menjadi faktor sekunder di bilik suara. “Emang kegantengan dan kesantunan ngaruh kepada kesejahteraan saya/pemilih?”.

Bagaimana pun faktor objektif ekonomi/kesejahteraan yg diterima dan dirasakan oleh pemilih lebih menjadi pertimbangan daripada faktor subjektif kekasaran dan arogansi kepada pihak-pihak lain. Apalagi jika yg menjadi sasaran Ahok adalah juga mereka yg tidak disenangi rakyat/pemilih. Jadi faktor ketidaksukaan akan perilaku Ahok akan menjadi pertimbangan sekunder di bilik-bilik suara.

Bagaimana dengan penggusuran? Apakah berpengaruh negatif kepada elektabilitas Ahok. Realistis saja, jumlah mereka yg digusur paling hanya beberapa ratus atau ribu orang. Sedangkan rakyat jakarta jumlahnya jutaan. Ditambah kenyataan bahwa penggusuran itu mempunyai alasan dan justifikasi yg kuat. Mereka digusur karena membangun di atas tanah yg bukan miliknya, di tempat yg tidak boleh didirikan bangunan karena menyebabkan banjir yg menyebabkan kesusahan kepada masyarakat yg lebih luas. Ditambah lagi ada pendekatan kemanusiaan. Mereka yg disgusur disediakan fasilitas dan bantuan yg sangat layak. Jadi apalagi masalahnya? Penggusuran tidak akan menurunkan elektabilitas.

Tiada jalan lain bagi para penantang untuk mengalahkan petahana Ahok-Jarot, selain dari meyakinkan para pemilih bahwa kinerja mereka akan jauh lebih baik daripada kinerja petahana. Karena itu sangat penting mempunyai tim yg dipimpin oleh orang-orang dan ahli-ahli strategi yg mumpuni. Dan, satu faktor lagi adalah keberuntungan, yg tidak bisa dikontrol oleh siapa pun. Karena itu banyaklah berdoa juga kepada Tuhan. Namun, semua pasangan juga berdoa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun