Kinerja petahana kurang memuaskan (paralel dengan posisi investor yg rugi). Dalam situasi ini masyarakat akan cenderung berspekulasi untuk memilih calon selain petahana dengan mengambil risiko calon tersebut bisa saja ternyata lebih jelek.
Kinerja petahana sudah bagus (paralel dengan posisi investor yg untung), namun kinerja penantang diprediksi jauh lebih bagus. Tidak sekedar sama atau sedikit lebih bagus, namun harus jauh melebihi petahana.
Karena dalam kasus Pilkada 2017 petahana Ahok-Jarot dinilai sudah bagus kinerjanya (menurut survei), maka tiada jalan lain bagi pasangan Anies-Uno dan Agus-Sylvi untuk menyakinkan masyarakat bahwa mereka akan jauh lebih baik daripada Ahok-Jarot. Tidak sekedar lebih baik, namun harus jauh lebih baik.
Bagaimana mengenai faktor perilaku Ahok yang katanya tidak disukai, terutama kata-kata kasarnya? Menurut penulis, dalam survei bisa saja ini mempunyai pengaruh terhadap elektabilitas Ahok. Namun, begitu ada di bilik suara maka hal suka atau tidak suka akan erilaku kasar Ahok menjadi tidak penting lagi dibandingkan kepentingannya sendiri. Bagi pemilih, mereka akan memilih calon yg memberikan keuntungan (kesejahteraan, terutama materi) yg paling banyak bagi dirinya dan keluarganya. Artinya calon gubernur yang kinerjanya bagus mnjadi pertimbangan utama.
Asalkan pemilih merasa menerima manfaat/disejahterakan, misalnya melalui pelayanan sosial yg bagus, pelayanan pegawai pemerintah bagus, jalan bagus, sungai bersih, sekolah gratis, pengobatan gratis, fasilitas umum bagus, keamanan bagus, korupsi diberantas, dll, maka kalau soal Ahok ngomongnya kasar dan pedes, “sebodo teuing”. (Tentunya, asal jangan kasar kepada saya/pemilih). Kalau Ahok kasar kepada anggota DPR, politisi, saingan politik, pegawai dan pejabat Pemda yg brengsek, tentunya tidak akan berpengaruh kepada pemilih/rakyat yg tidak terkena langsung kekasarannya (hanya melihat via TV dan media). Sebaliknya, omongan yg santun dan penampilan yg menawan, biarpun disukai, akan menjadi faktor sekunder di bilik suara. “Emang kegantengan dan kesantunan ngaruh kepada kesejahteraan saya/pemilih?”.
Bagaimana pun faktor objektif ekonomi/kesejahteraan yg diterima dan dirasakan oleh pemilih lebih menjadi pertimbangan daripada faktor subjektif kekasaran dan arogansi kepada pihak-pihak lain. Apalagi jika yg menjadi sasaran Ahok adalah juga mereka yg tidak disenangi rakyat/pemilih. Jadi faktor ketidaksukaan akan perilaku Ahok akan menjadi pertimbangan sekunder di bilik-bilik suara.
Bagaimana dengan penggusuran? Apakah berpengaruh negatif kepada elektabilitas Ahok. Realistis saja, jumlah mereka yg digusur paling hanya beberapa ratus atau ribu orang. Sedangkan rakyat jakarta jumlahnya jutaan. Ditambah kenyataan bahwa penggusuran itu mempunyai alasan dan justifikasi yg kuat. Mereka digusur karena membangun di atas tanah yg bukan miliknya, di tempat yg tidak boleh didirikan bangunan karena menyebabkan banjir yg menyebabkan kesusahan kepada masyarakat yg lebih luas. Ditambah lagi ada pendekatan kemanusiaan. Mereka yg disgusur disediakan fasilitas dan bantuan yg sangat layak. Jadi apalagi masalahnya? Penggusuran tidak akan menurunkan elektabilitas.
Tiada jalan lain bagi para penantang untuk mengalahkan petahana Ahok-Jarot, selain dari meyakinkan para pemilih bahwa kinerja mereka akan jauh lebih baik daripada kinerja petahana. Karena itu sangat penting mempunyai tim yg dipimpin oleh orang-orang dan ahli-ahli strategi yg mumpuni. Dan, satu faktor lagi adalah keberuntungan, yg tidak bisa dikontrol oleh siapa pun. Karena itu banyaklah berdoa juga kepada Tuhan. Namun, semua pasangan juga berdoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H