UU Pengampunan Pajak telah disahkan oleh DPR akhir Juni lalu. Pemerintah berharap UU ini bisa menjadi senjata ampuh untuk mendulang devisa yang memang sangat diinginkan oleh pemerintah Jokowi. Di tengah situasi ekonomi yang lesu, yang ternyata tidak sesuai dengan yang digembar-gemborkan pada masa kampanye dan pada masa awal pemerintahanya, Jokowi perlu duit banyak untuk mengangkat nilai raport merahnya. Dia hendak menggunakan uang dari program pengampunan pajak untuk membangun infrastruktur sebanyak-banyaknya. Diharapkan pembangunan infrastruktur ini bisa menjadi stimulus ekonomi yang lesu sekarang ini, dan sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi untuk tahun-tahun ke depan. Hal ini penting untuk mengamankan kansnya dalam pemilu 2019.
Indonesia tidak sendirian dalam program tax amnesty ini. Di tengah perlambatan ekonomi dunia puluhan negara juga saat ini tengah menjalankan program tax amnesty untuk memperebutkan dana global. Situasi ini sangat didukung oleh makin gencarnya negara-negara besar yang tergabung dalam G-20, yang dimotori oleh Amerika Serikat dan negara-negara maju lain, untuk melacak harta warga negaranya yang disimpan di negara-negara tax haven. Sebagai realisasi dibentuklah suatu sistem pertukaran data keuangan antarnegara partisipan yang disebut Automatic Exchange of Information (AEoI).
Dengan AEoI maka negara-negara partisipan akan mendapatkan data rinci keuangan warga negaranya yang disimpan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mendeteksi adanya penghindaran (penggelapan) pajak oleh warganegara negara-negara partisipan dari sistem AEoI. Negara-negara yang menolak berpartisipasi dalam AEoI terancam akan dikucilkan dan ditandai sebagai negara yang tidak koperatif. Jika skema ini sudah sepenuhnya diimplementasikan (sekarang masih belum selesai, masih dalam proses) maka tidak ada lagi negara tax haven. Tidak ada lagi tempat yang aman untuk menyimpan uang untuk keperluan menghindari pajak.
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang sudah menyatakan komitmen menjadi partisipan AEoI, yang karena masih ada kendala teknis baru akan mulai masuk pada tahun 2018. Karena itu cukup mengherankan pengakuan Jokowi bahwa dia sudah mempunyai data rinci orang-orang atau perusahaan yang menyimpan dananya di luar negeri. Dengan itu dia mengancam dan sekaligus membujuk, bahwa mereka yang tidak ikut berpartisipasi dalam program pengampunan pajak akan diperiksa pajaknya. Mereka yang ikut berpartisipasi pelanggaran pajaknya akan diputihkan dan hanya akan dikenakan tarif rendah atas selisih antara harta yang dilaporkan sebelumnya dengan harta yang seharusnya dilaporkan dalam SPT.
Menurut dugaan penulis Jokowi hanya sekedar menggertak. Artinya data yang dia miliki saat ini sebenarnya belum cukup untuk dijadikan alat untuk menjerat pelanggran pajak. Tentunya tebakan ini didasari dengan asumsi bahwa Indonesia baru akan berpartisipasi penuh pada tahun 2018. Artinya sesudah tahun 2018 barulah pemerintah mempunyai data keuangan rinci dari dana warganegara di luar negeri untuk keperluan mengejar dan menuntut pajak yang terutang. Kelihatannya Jokowi saat ini sangat perlu uang cepat (alias BU=Butuh Uang) untuk menjaga elektabilitasnya dalam pemilu 2019. Diperkirakan akan ada tambahan uang masuk dari program ini sebesar 100-200 triliun rupiah. Kita belum tahu apakah gertakan ini akan cukup mempan.
Lalu apakah uang warganegara Indonesia yang diperkirakan jumlahnya ribuan trliun rupiah akan repatriasi masuk ke Indonesia bersama dengan program ini? Program pemgampunan pajak Jokowi tidak hanya menarik biaya tebusan, namun juga berusaha menarik dana yang tersimpan di luar ke Indonesia. Caranya adalah dengan memberikan tarif tebusan yang lebih rendah jika pemilik dana di luar negeri mau menanamkan dananya di Indonesia (dikunci selama 3 tahun). Namun para pemilik dana tentu akan berhitung dulu antara selisih tarif tebusan dengan selisih return investasi di Indonesia (terkunci 3 tahun) dengan peluang return investasi di luar negeri.
Sebenarnya tidak ada keharusan warganegara Indonesia menginvestasikan uangnya di Indonesia karena UU devisa Indonesia tidak mewajibkan hal itu. Yang dipermasalahkan adalah penghindaran pajak. Tidak masalah uang disimpan di luar asal dilaporkan di SPT dan pajak yang terutang dibayar sesuai dengan UU.
Sekarang apakah dampak program ini? Tentunya uang tebusan pajak 100-200 triliun akan menolong Jokowi membiayai berbagai macam program-programnya dan sekaligus meredam kritik dan memenangkan simpati rakyat.
Di samping itu Jokowi katanya masih membutuhkan kira-kira 3400 triliun rupiah selama 5 tahun ke depan untuk membangun infrastruktur. Jika dana ini bisa didapatkan dari uang repatriasi akan ada dana murah (karena dana dikunci selama 3 tahun). Jika bukan dari dana repatriasi maka biaya dana akan lebih mahal karena investor global meminta return yg lebih tinggi. Namun berapa pun yang dibutuhkan Jokowi dana selalu tersedia, hanya dengan menerbitkan surat utang negara. Investor global dan domestik dengan senang hati menyediakan dana, tentunya dengan return yang sesuai. Jadi hal pembangunan infrastruktur ketersediaan dana tidak relevan, namun pada kemampuan untuk menggunakan dana tsb.
Apakah pemerintah sanggup mengelola proyek-proyek dengan nilai yang demikian besar (3400 triliun)? Jika terjadi kebocoran dan inefisiensi maka risiko juga akan ditanggung pemilik dana yang repatriasi. Jika ada kebocoran dan inefisiensi dalam penggunaan dana maka penerimaan pajak dari pertumbuhan ekonomi mungkin tidak cukup untuk membayar kembali utang pemerintah dan biaya dananya. Risiko ini tentunya bukan dalam bentuk gagal bayar secara nominal (karena negara Indonesia bisa mencetak rupiah), namun dari kemerosotan nilai rupiah.
Jadi menurut penulis pemerintah Jokowi mungkin akan diuntungkan dalam jangka pendek ini dengan masuknya uang tebusan pengampunan pajak sebesar 100-200 triliun tahun ini juga. Dan juga peningkatan penerimaan pajak tahun-tahun selanjutnya karena bertambahnya tax base. Namun di luar itu keberhasilan pembangunan dalam jangka menengah dan jangka panjang akan ditentukan kemampuan pemerintah menjalankan proyek-proyek infrastruktur. Jika pemerintah mampu (mengelola proyek dengan efisien) maka ekonomi Indonesia bisa melaju lebih kencang, karena produk-produk Indonesia akan lebih bisa bersaing dengan produk-produk dari negara-negara lain. Namun jika mengacu pada pengalaman sebelumnya dimana tingkat penyerapan anggaran proyek-proyek pemerintah yang begitu rendah, tentunya kita cukup khawatir. Anggaran (dana) proyek-proyek kecil yang sudah tersedia pun belum dimanfaatkan secara optimal, bagaimana bisa mengelola megaproyek 3400 triliun? Jika berhasil maka ekonomi Indonesia bakal melaju kencang, jika gagal taruhannyapun besar.