Setelah sukses mengantarkan Jokowi menjadi presiden mobil Esemka tidak lagi banyak diberitakan. Namun menurut kabar terakhir proyek mobil Esemka jalan terus. Esemka akan dijadikan ‘mobil nasional’, yaitu merek mobil kepunyaan Bangsa Indonesia sendiri.
Yang menjadi pertimbangan lain adalah : Apakah investasi ini layak? Apakah ada keuntungan ekonomis bagi bangsa Indonesia dari investasi yang sangat besar ini? Karakter industri mobil lain sekali dengan indistri mebel.
Sebagai gambaran, industri mobil saat ini (dan dari awal) didominasi oleh Eropa, Amerika dan Jepang. Perusahaan-perusahaan mobil yang menguasai pasar global adalah Volkswagen, Volvo, Ford, General Motors, Toyota, Honda, Mitsubishi, Nissan, Renault, dsb. Mereka adalah pemain lama yang beberapa diantaranya sudah bercokol seratusan tahun di industri mobil. Dengan sendirinya kapital yang sudah mereka tumpuk selama kurun waktu tersebut sudah menggunung. Mereka telah mengumpulkan bukan hanya kapital atau modal fisik, tetapi juga kapital teknologi, pengetahuan, manajemen, brand, dan sumberdaya manusia.
Bukan hanya itu saja namun persaingan di industri mobil sangat sengit, sehingga return investasi industri ini cukup pas-pasan. Pasar yang sangat kompetitif tersebut juga dengan sendirinya membuat mereka semakin mumpuni dan sulit tertandingi. Oleh karena itu investor atau pemain baru akan sulit memasuki industri ini. Kemungkinan pemain baru untuk berhasil sangat kecil, sedangkan modal yang harus ditanamkan sangat besar, dan sulit untuk ditarik kembali/dialihkan.
Industri mobil negara lain seperti Korea Selatan, walaupun sudah bisa menembus pasar global, inferior dibandingkan dengan para raksasa dari Eropa-Amerika-Jepang tsb. Tiongkok memang mempunyai banyak merek lokal. Namun, sekalipun ditopang dengan pasar dalam negeri yang sangat besar, infrastruktur yang sangat bagus, tenaga teknik yang berlimpah dan dukungan riset dan dana yang sangat besar, toh mobil-mobil Tiongkok hanya berhasil menjadi jago kandang saja.
Cerita lain adalah Proton, mobil nasional kebanggaan Bangsa Malaysia. Mobil ini hanya laku di Malaysia, itupun hanya menjual beberapa ribu unit saja per tahun. Modal yang sudah ditanamkan mungkin sudah ratusan triliun (rupiah), dan sampai sekarang Proton masih terus harus disuntik dana dari pemerintah supaya tetap hidup. Sampai kapan Proton terus membebani keuangan rakyat Malaysia? Layakkah harga yang harus dibayar tsb hanya untuk membeli kebanggaan memiliki sebuah merek mobil nasional?
Memiliki sebuah merek mobil nasional tidak sama dengan mampu membuat mobil. Bangsa Indonesia sebenarnya sudah mampu membuat mobil sebagaimana banyak bangsa-bangsa lain. Antara lain mobil Esemka karya anak-anak SMK di Solo dan teknisi lokal. Bahkan merek-merek mobil Jepang seperti Toyota Kijang, Agya, Ayla, dsb dirancang oleh insinyur-insinyur indonesia dan mempunyai kandungan lokal jauh lebih banyak daripada Esemka yang sebagian besar menggunakan sukucadang impor dari Tiongkok.
Indonesia mampu membuat mobil. Namun banyak bangsa lain juga mampu, dan bahkan banyak yang amat sangat mampu. Namun bangsa-bangsa lain tidak banyak yang memiliki merek mobil nasional sendiri. Antara lain karena faktor-faktor yang diungkapkan tersebut di atas.
Kalau Indonesia hendak terus meningkatkan kemampuan teknis membuat mobil, mengapa tidak menginvestasikan uang dalam riset diberbagai perguruan tinggi dan perusahaan negara. Uang yang terbatas sebaiknya diinvestasikan pada industri-industri pertahanan yang strategis, seperti membuat kendaraan militer dan kapal-kapal.
Alih-alih berusaha mebuat mobil nasional, dengan mendorong investor asing membangun pabrik-pabrik mobil disini kita bisa mendapatkan uang dari pajak, menyerap tenagakerja dan mengembangkan keahlian dan pengetahuan dalam membuat mobil. Dengan datangnya investasi dari luar tanpa mengeluarkan uang sepeserpun kita bisa mengembangkan kemampuan bangsa kita dalam membuat mobil.
Sebaliknya kalau kita lebih mementingkan kebanggaan semu daripada kemamuran nyata kita bangun sebuah mobil nasional yang sangat mahal investasinya dan kemungkinannya untuk bisa bersaing sangat kecil. Pada akhirnya mobil nasional seperti itu akan menjadi zombie, mayat hidup, yang hanya bisa berjalan kalau selalu disuntik dana. Mobil nasional seperti itu, alih-alih menjadi kebangaaan nasional, hanya akan menjadi sumber pengeluaran yang tidak berguna.
Cerita lain, yang bisa menjadi bahan pertimbangan, raksasa-raksasa mobil yang sudah sangat mumpuni, sakti dan tak tertandingi itupun sedang gemetar ketakutan. Kenapa? Dengan datangnya raksasa-raksasa teknologi seperti Google, Apple dan Tesla yang sedang merancang mobil-mobil pintar, jangan-jangan kejayaan raksasa-raksasa mobil (konvensional) tersebut akan mulai surut. Mobil-mobil masa depan dirancang untuk tidak berisik, menggunakan listrik murah dan bersih, hemat energi, dan,, tanpa sopir!
Jadi ngapain Pak Presiden membuat mobil konvensional nasional yang mahal dan sangat kecil kemungkinan untuk memberikan return yang positif. Besar kemungkinan itu merupakan proyek rugi, proyek PHP (Pemberi Harapan Palsu).
Jadi, apakah Esemka akan gagal? Penulis tidak katakan begitu. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Peluang berhasil selalu ada. Namun sangat kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H