Peserta Jamsostek (sekarang BPJSTK) mulai 1 Juli 2015 tidak bisa mengambil uang hasil kerjanya sampai 10 tahun masa kepesertaan. Setelah 10 tahun pun hanya 10% yang bisa diambil (dan 30% lagi jika untuk keperluan perumahan – ini belum jelas aturan mainnya). Sisanya hanya bisa diambil pada umur 56 tahun. Semua itu diatur dengan PP No 46/2015. Menaker Hanif beralasan bahwa pembentukan PP No 46/2015 itu dilandasi dengan UU No 40/2004.
Tentu saja masyarakat kaget dan marah atas pemberlakukan ketentuan tersebut yang tsnpa sosialisasi terlebih dahulu dan sangat tergesa-gesa. Mereka marah sekali karena dihalangi mengambil uang mereka sendiri.
Mencermati UU yang dijadikan alasan bagi keluarnya PP yang mengatur pencairan JHT tersebut, kuncinya ada pada kata “kepesertaan” dan “peserta.” Semua aturan itu ditujukan untuk “peserta.” Bagaimana dengan yang bukan peserta? Tentunya UU tersebut tidak berlaku, bukan? Dalam UU disebutkan bahwa kepesertaan bersifat wajib. Tapi wajib untuk siapa saja? Setahu penulis kepesertaan hanya wajib untuk karyawan/pekerja sektor formal. Kalau dokter, pungusaha, pengacara, petani, tentu tidak wajib. Nah, pertanyaannya apakah sekali menjadi peserta harus terus menjadi peserta? Bagaimana jika sudah tidak sebagai karyawan lagi? Apakah pekerja tidak mempunyai hak untuk melepaskan kepesertaannya? Berdasarkan apa? Adakah UU yang melarang orang untuk meninggalkan kepesertaan?
Kemudian, kata kunci lain adalah “pensiun” dan “usia pensiun.” Karena disebutkan bahwa "Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia." Nah, apa yang dimaksud pensiun disini? Dalam pasal 37 juga terdapat frasa “usia pensiun.” Kalau untuk karyawan sektor formal “pensiun” tentu mengacu pada berhenti-kerja, biasanya karena alasan memasuki usia tertentu. Namun ada orang yang yang pensiun muda (pensiun dini), ada juga yang sudah lanjut umur tapi tidak pernah pensiun. jadi pensiun tidak selalu bisa disamakan dengan usia tertentu. Dalam UU tersebut juga tidak menyebutkan berapa tahun “usia pensiun”, namun hanya disebutkan “usia pensiun.” Lalu apa dasar PP yang menafsirkan usia pensiun dengan usia 56 tahun?? Bukankah usia pensiun masing-masing orang bisa berbeda-beda? Kalau memang “usia pensiun” adalah pengertian yang umum dan berlaku untuk semua orang, mengapa UU tidak menyebutkan dengan jelas angka tahunnya, atau paling tidak angka kisarannya? Ini membuktikan bahwa UU mengakui bahwa “usia pensiun” masing-masing orang berbeda-beda dan tidak bisa diseragamkan.
Kesimpulan :
- Tidak ada dasar hukum yang sah melarang orang keluar dari kepesertaan setelah dia tidak lagi bekerja sebagai karyawan.
- Tidak ada dasar hukum yang sah menahan uang milik orang yang hendak meninggalkan kepesertaan, karena dia sudah bukan karyawan lagi, petani misalnya.
- Tidak ada dasar yang sah untuk menfsirkan kata “pensiun” dan “usia pensiun” adalah berusia 56 tahun.
- Tidak ada dasar yang sah menentukan besaran 10% sebagai jumlah yang boleh diambil setelah 10 tahun bekerja.
- Ada kesan pemerintah merampok uang rakyat/pekerja untuk menutupi kegagalannya mengelola ekonomi. (pertumbuhan turun, ekonomi lesu,export-import turun, inflasi naik,penerimaan pajak jauh dari target,swasembada pangan semakin jauh)
Artikel terkait penggunaan dana BPJSTK
Berikut adalah kutipan UU no. 40 tahun 2004.
Bagian Keempat
Jaminan Hari Tua
Pasal 35
1. Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib.
2. Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.