Mohon tunggu...
Sutan Dijo
Sutan Dijo Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pria

Saya tinggal di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Filsafat Bisa Menalar Tuhan?

1 Mei 2010   09:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:28 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah manusia bisa menalar Tuhan dengan filsafatnya? Para filsuf telah mencobanya sejak ribuan tahun yang lalu; Plato, Aristotle, dll.

Prestasi puncak para filsufdalam menalar Tuhan adalah sampai pada kesimpulan akan adanya Causa Prima, yaitu Tuhan, yg merupakan penyebab segala sesuatu yg ia sendiri tidak disebabkan oleh apa pun. Itu juga adalah prestasi puncak dari pikiran manusia dalam menyelidiki Tuhan.

Tetapi setelah itu nampaknya penalaran selanjutnya dari para filsuf tidak menghasilkan kemajuan apa-apa. Semua teori mereka hanyalah spekulasi, dan (maaf) dapat dikatakan sebagai sampah! Karena semua teori mereka tidak memberikan penjelasan apapun lebih jauh lagi tentang Tuhan. Semua usaha mereka sia-sia.

Menurut pendapat penulis para filsuf itu, setelah menemukan adanya Causa Prima atau keberadaan Tuhan, mereka tidak dapat melihat adanya batas yg tidak dapat mereka langgar. Karena itu mereka terus berjalan melanjutkan usaha mereka untuk menalar Tuhan lebih jauh lagi ;dan pasti gagal. Batas apakah yg penulis maksud? Batas yang membedakan antara yang fana dengan yg kekal, antara natur Tuhan Sang Causa Prima yg keberadaannya tidak disebabkan oleh apa pun dengan natur manusia yang dikuasai oleh hukum sebab akibat. Batas itu adalah dimensi ruang dan waktu.

Alam semesta dan semua yg ada di dalamnya, termasuk manusia, dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Demikian juga pikiran kita hanya bisa bekerja dalam pola pikir dimensi ruang dan waktu. Pikiran kita, otak kita, dirancang dan dicetak hanya untuk mampu berpikir dalam kerangka ruang dan waktu. Sedangkan kita tahu ada realita tentang Tuhan yg tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Jadi pikiran kita tidak mampu untuk menalar realita di luar dimensi ruang dan waktu. Pikiran kita tidak mampu menalar Tuhan yg melampaui dimensi ruang dan waktu.

Rekan kompasioner Christianto Densy Morya mempunyai istilah untuk ini : bahwa kita tidak mungkin mengucapkan sebuah kata yg tidak ada. Artinya kita tidak mungkin memikirkan sesuatu yang polanya tidak ada dalam pikiran kita.

Nampaknya Tuhan tidak membiarkan dirinya untuk bisa ditemukan atau dinalar oleh manusia. Sia-sia saja para cerdik pandai berusaha menyelidiki hal-ikhwal Tuhan, mereka “terjebak dalam hikmatnya sendiri.” Setinggi langit dari bumi demikian pula tingginya pikiran Tuhan dari pikiran manusia.

Tuhan tidak dapat ditemukan oleh manusia. Jadi Tuhanlah yg harus menunjukkan dirinya kepada manusia. Tuhanlah yg harus berkata-kata kepada manusia; tentunya hanya dalam bahasa yg dapat dipahami oleh manusia, yaitu dalam pengertian pola pikir dimensi ruang dan waktu. Kalau kita bercakap-cakap dengan seorang anak berumur 3 tahun tentunya kita harus menyesuaikan diri dengan dia, dengan menggunakan kosa-kata yg bisa dipahaminya, sesuai dengan tingkat pemahamannya.

Sebagai contoh dalam Alkitab Kristen tidak ada satu pun kata“Trinitas”. Alkitab hanya menyiratkan dengan jelas bahwa ada ke-trinitasan dalam Tuhan Yang Esa. Tapi Alkitab tidak memberikan penjelasan yg tuntas mengenai sifat trinitas dari Tuhan tsb. Karena memang tidak mungkin natur Tuhan yg tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu dijelaskan kepada pikiran manusia yg hanya bisa memikirkan sebatas pola pikir dalam dimensi ruang dan waktu. Keberadaan trinitas yg merupakan realita tentang natur Tuhan yg disiratkan oleh Alkitab dengan itu juga tidak akan pernah bisa dimengerti dan dijelaskan secara tuntas oleh orang Kristen sendiri (apalagi orang bukan Kristen). Mereka hanya mengerti bahwa realita itu (Trinitas) itu ada, mengerti sebatas tertentu (pola pikir dimensi ruang dan waktu), dan selanjutnya mengimaninya saja tanpa bisa mengerti lebih jauh lagi (dari batas tersebut).

Tulisan terkait :

http://filsafat.kompasiana.com/2010/04/25/siapakah-yang-menciptakan-tuhan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun