Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Ujung Hentakan Cangkul

2 Agustus 2024   21:03 Diperbarui: 3 Agustus 2024   05:38 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diujung Hendatakan Cangkul. (Dokumentasi Pribadi)

Pukul setengah enam pagi, diantara udara dingin dan kabut yang berjalan manja menuju pinggang Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, saya menikmati setiap jengkal pemandangan megah yang tersaji.

Dari balkon lantai dua homestay, hamparan ladang-ladang yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman holtikultura dari dataran tinggi sampai dataran rendah, hingga puncak gunung terlihat begitu jelas seperti menyaksikan sebuah lukisan tergantung di dinding pameran.

Waktu sekan berhenti menikmati kekaguman ini. Saya jadi mengingat kata Goenawan Mohamad, "mungkin saya menyukai pagi karena di sana, saya belindung dari kecepatan detik."

Meski pada akhirnya, berlalunya detik juga mengantarkan saya pada puisinya yang lain, "Banyak hal tentang pagi yang tidak sekadar penanda waktu. Banyak kisah yang sebenarnya dituturkan dari sebuah pagi. Tentang kemuning, tentang harapan, burung-burung yang terus sibuk tanpa memikirkan sikap, multispilisitas yang tak permanai, dan tentang repetisi yang juha kelahiran kembali."

Lahan pertanian. (Dokumentasi Pribadi)
Lahan pertanian. (Dokumentasi Pribadi)
Yap. Pagi berbalut harapan tergambar jelas pada tangkapan mata, sosok-sosok pria maupun wanita yang telah berjibaku dengan waktu. Menceburkan diri pada ladang-ladang yang tertanami berbagai komoditas holtikultura.

Sepagi ini, dengan udara yang mampu menembus dua lapisan jaket tebal. Pemandangan bukit nan megah dengan bukit dan gunung yang memanjakan mata barusan kukagumi ternyata menyimpan sesuatu yang lebih menarik perhatian. Aktivitas penduduk desa dan petani.

Segera saya putuskan meminjam sepeda motor pemilik penginapan. Sebuah sepeda motor trail yang sudah dimodifikasi. Kata orang sini, rata-rata sepeda motor harus dimodif agar kuat menanjak ke bukit-bukit tempat ladang berada. Juga, digunakan untuk mengantar para pendaki ke pos satu Gunung Sindoro.

Sebelum berangkat, saya dibekali trik dan teknik mengendari sepeda motor ekstrem ini. Katanya "harus kencang". Trik yang baru saya pahami setelah melihat para ojek; sebutan orang lokal yang mengantar para pendaki ke pos satu,-menggeber sepeda motor yang membuat jantung hampir copot.

Betapa tidak, baik tanjakan atau turunan, sepeda motor seperti terbang tanpa menyentuh jalanan. Saya yang tak terbiasa harus menepi ketika mendengar suara raungan kenalpot sepeda motor dari kejauhan. Kecepatannya bukan kaleng-kaleng. Diberbagai platftom medsos dapat ditonton.

Lahan pertanian. (Dokumentasi Pribadi)
Lahan pertanian. (Dokumentasi Pribadi)

Keluar dari penginapan, saya menuju sebuah perbukitan. Searah dengan jalur menuju pos satu. Dari sini, ditemani salah satu penduduk lokal, saya melihat betapa perbuktian penuh dengan ladang holtikultura. 

Pertanyaan paling pertama ialah "kok bisa bukit-bukit ini dibuat ladang" dengan kemiringan yang ekstrem. Pada akhirnya kelogisan selalu menjadi jawaban atas pertanyaan. "Memang sudah begini keuletan dalam memanfaatkan ruang untuk bertani. Seperti halnya saudara yang ulet ketika hidup di pesisir".

Bergeser dari situ, saya menjalal hampir setiap sudut lokasi ini. Baik Gunung Sindoro maupun Gunung Sumbing. Selama tiga hari, kerjaan saya hanya berkeliling dari satu ladang ke ladang lain. Dari satu bukit ke bukit lain. Dan bercengkrama dengan petani ke petani. Saya suka membangun keakraban. Sebab lewat cerita-cerita, ada banyak hal yang bisa terungkap dan tertangkap.

Harga Pas, Tanah Dilepas

Lahan pertanian. (Dokumentasi Pribadi)
Lahan pertanian. (Dokumentasi Pribadi)
"Banyak kisah yang sebenarnya dituturkan dari sebuah pagi", begitulah makna dibalik perjalanan pagi selama di sini. Dan, saya selalu percaya, dibalik kemegahan selalu ada problem, harapan, kisah, cinta dan duka menyelimuti. Sebab-akibat fase kehidupan.

Kisah-kisah ini mengantarkan saya pada sebuah fakta yang hampir dialami semua kawasan wisata ataupun kawasan pertanian di pedesaan, yakni alih fungsi lahan. Sebuah isu yang sudah tidak asing lagi. 

"Harga pas, siap dilepas" begitu kira-kira bahasa halusnya. Sepanjang menelusuri kawasan ini, rupanya alih fungsi lahan tak terelakan. Dari beberapa diskusi, topik tentang menjual lahan tak pernah luput dari obrolan.

Dan, orang-orang tahu di mana letak tanah yang siap lepas dan siapa pemiliknya. Meski dalam peraturan pemerintah, kawasan seperti ini tidak untuk diperjualbelikan. 

Sebagai kawasan pariwisata dengan pemandangan yang eskotis, tentu perburuan untuk mendapatkan setidaknya sepetak tanah di ini lokasi masif terjadi. Saya alami ketika ditawarkan tanah di sebuah bukit eksotis. Setelah di cek, nyatanya kawasan itu tidak diperuntukan untuk HGU. 

Cerita tentang masifnya jual beli tanah di kawasan tersebut belakangan masif terjadi. Bahkan ada pihak-pihak yang berperan aktif menjadi broker mempertemukan pihak demi pihak. Kebanyakan penduduk kota yang gencar mencari lahan guna dijadikan sebagai villa atau lokasi bisnis.

Lahan pertanian. (Dokumentasi Pribadi)
Lahan pertanian. (Dokumentasi Pribadi)

Sejatinya, alih fungsi lahan memiliki berbagai alasan. Temuan saya yaitu, faktor produksi (rantai produksi sampai pemasaran yang menempatkan petani sebagai price taker, bukan price maker), kestabilan harga, faktor budidaya dengan segala pendukungnya.

Fakta paling kuat ialah rendahnya harga jual para petani dan mahalnya harga pupuk merana alias tinggi. Dua indikator ini menyebabkan "harapan" akan kejayaan dari bertani seakan pupus. 

Banyak dari mereka mengeluhkan dua indikator ini. Bahkan sampai menjurus pada program-program pemerintah yang seakan tak berpihak kebijakannya dibanding kebijakannyayang masif dibidang Minerba.

Ada fakta nyeleneh, "belilah tanah saat musim panen tembakau selesai. Petani bakal menjual lahannya lantaran hasil produksi tidak menutupi input produksi alias lebih banyak rugi ketimbang untungnya," meski saya belum melakukan validasi akademis tetapi bahasa tersebut hampir banyak dikeluarkan oleh warga.

Kenapa tanah dijual sehabis panen tembakau? Jawabanya tetap sama rugi. Memang tidak bisa dipungkiri tembakau menjadi salah satu sektor komoditas yang kurang diunggulkan dan cenderung "berkonotasi negatif" baik dalam tataran kebijakan maupun penelitian.

(Dokumentasi Pribadi)
(Dokumentasi Pribadi)

Terlepas dari itu, problem maraknya alih fungsi lahan dengan berbagai indikator penyebabnya sangat disayangkan. Lahan pertanian produktif yang sejatinya menjadi penopang pangan nasional seharusnya dapat ditekan. Dengan jumlah penduduk yang makin meningkat dibarengi tingkat konsumsi yang semakin naik, bisa mengakibatkan problem ketersediaan pangan di masa depan. 

Kondisi sosial masyarakat dalam mengambil tindakan tidak semerta lahir begitu saja. Berbagai penyebab mendasari tindakan tersebut. Semua berkaitan dengan keadilan kebijakan, pemenuhan kebutuhan dan tentu paling mendasar adalah tentang bertahan hidup. 

Maka sudah sepantasnya problem-problem alih fungsi lahan yang sudah diketahui penyebabnya dapat menjadi titik serius. Agar tercipta kesibambungan pangan, ekonomi dan kehidupan petani itu sendiri. (sukur dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun