Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sagu, Cinta, dan Pangan

27 November 2023   11:58 Diperbarui: 28 November 2023   14:24 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sagu lempeng merah (Dokumentasi pribadi)

Nenek membakar sagu ketika saya menemuinya di dapur. Alat cetak sagu lempeng bernama forno terpanggang di atas bara api. Sesekali ia mengecek dengan membalikkan forno menggunakan gata-gata; alat penjepit dari bambu, memastikan kematangan sagu yang diolahnya.

Beberapa sagu lempeng merah yang telah matang ia letakan ke Susiru atau Tatapa. Saya suka melihatnya membakar sagu setelah sekian lama ia tak melakukannya. 

Di umur yang sudah menyentuh angka tujuh puluh, fisik tak lagi mendukung melakukan pekerjaan berat. Meski ia masih kuat, bahkan bisa ke kebun seminggu sekali. 

Berbeda dengan dulu, di periode 1990-an, ia membakar sagu setiap hari. Sagu lempeng putih dari sari pati singkong dan merah dari pohon sagu asli, sinole, sagu pisang bakar, dan sagu jari-jari. Paling biasa dibuatnya ialah sinyole, sagu daun pisang, dan kue sagu. Yang kami konsumsi dengan ikan bakar.

Sagu lempeng putih (Dokumentasi pribadi)
Sagu lempeng putih (Dokumentasi pribadi)

Yap itu makanan kami sehari-hari lantaran beras masih menjadi barang yang sulit digapai. Jika ada, itu pun harus dilakukan penghematan. Biasanya bakal diolah dengan labu kuning atau jagung kering yang digiling kecil.

Saya duduk menatapnya membakar sagu dengan serius. Ia membuat beberapa puluh lempeng sagu merah. Meski usianya sudah senja, ia masih cekatan. 

Sejak pagi, ia memerintahkan saya membiji; mengupas dua butir kelapa tua. Sementara nenek sendiri mengayak sagu yang dua hari dijemurnya di teras rumah. Setelah membiji kelapa, ia memerintahkan untuk diparut. 

Sagu lempeng merah (Dokumentasi pribadi)
Sagu lempeng merah (Dokumentasi pribadi)

Baca juga: Satu Loyang Ikan

Perintah yang saya lakukan dengan menggunakan parut tradisional bernama kukuran; terbuat dari besi yang ditajamkan bergerigi dengan kayu sebagai dudukan.

Kedua bahan ini kemudian dicampurkan lalu diberi sedikit air. Dimasukkan ke dalam forno lalu dibakar selama 10-15 menit. Tergantung dari bara api. 

Saya pun meminta sembari memakan sagu lempeng merah yang dibuatnya. Dalam keadaan masih panas, sagu lempeng merah sangat enak dikonsumsi. Jika sudah kering atau dilakukan penjemuran maka sagu lempeng cenderung sangat keras. 

Ada dua jenis sagu lempeng. Yang keras dan yang lembek. Tergantung volume air yang dipakai. Dan dua-duanya dapat bertahan tiga bulan bahkan lebih. Itu sebabnya sagu lempeng menjadi paganan yang disimpan warga berbulan-bulan. Dikonsumsi saat sarapan pagi, minum teh atau menjadi pelengkap menu makanan.

Parutan Kelapa dan Sagu (Dokumentasi pribadi)
Parutan Kelapa dan Sagu (Dokumentasi pribadi)

Hari ini saya ingin makan sagu lempeng gula merah yang disangrai. Nenek mengiyakan dan menyuruh saya mencari gula merah. 

Sagu gula merah sangrai atau sinole yang dibuat dalam sekejap itu sudah tersaji. Dan saya menyatapnya dengan ikan bakar sebelum saya pergi ke kebun menengok kebun pala yang sudah lama ditinggalkan.

Sorenya, saat pulang kebun, Nenek tidak menyuguhkan sagu lempeng. Ia justru menyuguhkan kue coe sagu loyang. Adonan sisa dari sagu ia campurkan dengan buah kenari lalu dikukus dan sedikit terigu sebagai lapisan atas.

Nenek menyajikan bersama segelas kopi sembari berujar " biar ingat pulang kalau pergi". Nenek seakan tau besok saya harus balik ke kota dan menuju Jakarta. Bagi saya, tidak pernah pudar cintanya pada anak cucu yang sesekali datang menengoknya di rumah dengan ia satu-satunya penghuni ini.

Kue Sagu Coe Loyang (Dokumentasi pribadi)
Kue Sagu Coe Loyang (Dokumentasi pribadi)

Pangan Lokal yang Tergerus Perkembangan

Sagu bakar daun pisang (Sumber: Cut Putri)
Sagu bakar daun pisang (Sumber: Cut Putri)

Sagu adalah identitas maupun pangan bagi Indonesia Timur. Berbagai macam olahan dapat dibuat. Misalnya papeda, sagu lempeng putih dan merah, Bagea atau sagu tumbuh; campuran sagu, gula merah dan kenari yang ditumbuk halus lalu dikukus, sinole, bubuhuk; campuran kelapa, gula merah, gula yang dipipihkan, hingga boko-boko; campuran kelapa gula merah yang diisi dalam bambu.

Berbagai olahan itu mungkin yang paling tenar ialah papeda. Sementara dalam proses ekonominya, sagu lempeng baik putih maupun merah masih terus diperdagangkan dan sangat mudah ditemukan.

Lainnya? Hanya ditemukan pada momentum-momentum tertentu. Seperti ramadhan hingga festival adat. Di kampung saya sering dibuat jika ada bahan terutama kue coe sagu loyang.

Terjadi pergeseran konsumsi yang masif dalam konsumsi bahan olahan dari sagu yang turut mempengaruhi kebudayaan. Faktor itu hemat saya ialah faktor ekonomis, seperti pola konsumsi.

Dulu seingat saya, sagu adalah makanan sehari-hari. Bahkan salah satu kota di Maluku Utara yakni Tidore hanya mengonsumsi beras pada hari Jum'at. ¹

Pergeseran dimulai penguatan konsumsi beras mulai digalakkan pada tahun 1990-an. Alhasil dari situ, beras yang sangat mudah diperoleh dan murah ketimbang sagu menjadi pangan pokok. Istilah "belum makan jika belum makan nasi" berlahan tenar hingga saat ini.

Bahkan dalam penyajian makanan olahan sagu yakni papeda, Nasi menu menjadi penutup setelah menyantap papeda. 

Kondisi berikutnya yang sangat mempengaruhi ialah ketersediaan pohon sagu di mana lahan-lahan sagu tumbuh telah beralih fungsi. Pembangunan perumahan, pembukaan lahan dan yang paling berpengaruh belakangan adalah ekspansi perusahaan-perusahaan di hutan-hutan Halmahera.

Hutan Halmahera dulunya tumbuh banyak pohon sagu di sepanjang aliran sungai. Namun ketika penggundulan mulai dilakukan, pohon sagu yang pertumbuhannya lambat tersebut hilang satu per satu.

Belakangan ekspansi itu semakin masif. Bahkan dua hari lalu, saya membaca sebuah berita di mana beberapa wilayah hutan Halmahera dilelang untuk investor. Mematik minat mengelola kandungan nikel didalamnya.²

Akibatnya, kelangkaan terjadi. Supply sagu menjadi turun dan menyebabkan harga melambung tinggi. Syukur-syukur jika dapat satu bal dalam sebulan dengan harga 500 ribuan. Tetapi jika tidak maka bisa sampai berbulan-bulan.

Pohon sagu sebagai sumber pangan utama memang tidak dibudidayakan. Pohon ini mayoritas tumbuh liar. Dan masyarakat atau petani yang mengolah sagu menjadi pati, biasanya memiliki pohon sagu yang tumbuh di kebun-kebun.

Ekspansi masif perusahaan, kehilangan sumber utama makanan pokok juga menjurus ke tingkat keinginan bekerja sebagai petani. Regenerasi tergerus dalam khususnya anak muda yang sekarang berburu kerja di perusahaan-perusahaan pertambangan.

Sagu adalah identitas yang mungkin suatu saat bakal hilang. Di satu sisi, pemerintah gencar melakukan sosialisasi tentang pangan lokal tetapi di satu sisi justru terjadi kerusakan lahan-lahan yang tidak hanya menghilangkan hutan melainkan juga sumber pangan lokal. 

Sukur dofu 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun