Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kopi Hitam di Ciwidey

25 November 2023   02:52 Diperbarui: 26 November 2023   18:52 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Dedi, menginjak pedal gas sekencang-kencangnya. Tertangkap mata spidometer menunjukan angka 140 Km. Sesekali mobil kelak-kelok seperti orang lari zig-zag. Senam jantung sepanjang perjalanan. Sopir profesional di salah satu kementrian ini hanya berkata, tenang. 

Kami memasuki Ciwidey Kabupaten Bandung pukul satu malam. Setelah singgah sebentar di beberapa tempat. 

Suasana kampung sudah sepi dan hanya udara segar yang menghantam badan. Mengigil rasanya badan ini. Sesuatu yang tidak saya sukai. Juga saya tak membawa jaket tebal yang sebelumnya sudah diingatkan Pak Dedi. 

Istrinya menyambut kami, dan menyiapkan berbagai macam makanan yang katanya wajib di coba. Sungguh sambutan yang sangat saya sukai ketika menjajal banyak tempat di jawa. Khususnya di daerah pedesaan. 

Baca juga: Satu Loyang Ikan

Ada banyak keunikan yang disajikan. Dari cara menyapa, bertutur hingga bagaimana mereka memuliakan tamu. Keberagaman dalam satu ikatan bernama budaya Indonesia.

Kami duduk di samping rumah. Dengan kolam berisi banyak ikan. Kolam yang Pak Dedi beli sekitar tiga tahun lalu. Digunakan Pak Dedi beternak ikan serta menjadi tempat memancing bagi teman-teman kantor yang penat dengan aktivitas kerja di Jakarta.

Dokpri
Dokpri

Sebulan sekali mereka biasa datang dan menghabiskan waktu memancing di kolam ini. Bila suntuk, jalan-jalan ke area pariwisata. 

Di sekeliling rumah tampak banyak sekali lahan pertanian. Meski gelap, aroma dan bau khas dari tanaman-tanaman cukup terasa. 

Malam semakin larut, hawa dingin semakin menggila. Pak Dedi sejak awal kedatangan sudah sigap menghidupkan api pad Wahu. Lalu meletakan merebus air yang diletakan tepat di atas Wahu; pembakar api.

Kopi terseduh beberapa kali. Hitungan saya, ada sekitar sepuluh kali. Sebab, kopi yang dibiarkan beberapa menit saja sudah terlanjur dingin. Dan Pak Dedi selalu sigap jika melihat kopi di gelas telah kosong.

Saya malam itu tak jauh-jauh dari wahu. Bahkan membuka sepatu dan menempelkan kaki ke Wahu agar tak kedinginan. Saking dinginya lantaipun seperti tersiram es. Pun dengan air. Begitu dasyatnya hawa dingin ini meski bagi Pak Dedi, mereka sudah biasa.

Sepanjang malam kami tidak tidur. Kopi telah menghilangkan kantuk. Mencoba untuk tidur selalu gagal, setebal apapun saya melapisi badan dengan selimut, kedinginan tak henti menyerang. 

Malam itu saya gunakan untuk berbincang dengan Pak Dedi. Utamanya perihal bagaimana desa dan pertanian di sini bertransformasi. 

Dokpri
Dokpri

Sejak awal Pak Dedi sudah banyak mengspil bahwa daerah mereka, usaha pertanian paling banyak ialah buah strobery. Ia bahkan mengajak saya dalam kegelapan melihat kebub-kebun strobery tepat disamping rumahnya yang membikin penasaran. Selain strobery, juga ada sawi, cabai, tomat dll. 

Selama ini, ia tak pernah berbelanja di pasar. Sebab, hidup di lingkungan dengan mayoritas pertanian begini tak perlu repot ke pasar. Cukup ke tetangga samping rumah sudah dapat. 

Pak Dedi sendiri tak punya lahan pertanian tetapi ia cukup tau bagaimana transformasi dulu hingga sekarang. Terutama praktek pertanian dan alih fungsi lahan yang begitu masif.

Dulunya, desa ini masih terhampar begitu banyak ladang. Rumah penduduk masih berjarak-jarak. Pepohonan di perbukitan masih rindang dan sungai kecil di belakang rumahnya punya volume air yang snagat banyak. 

Suasana desa (dokpri)
Suasana desa (dokpri)

Namun seiring perjalanan, lahan-lahan itu berganti fungsi. Terjual ke orang-orang kota yang kemudian mendirikan rumah, villa, cafe dan lokasi wisata. 

Benar saja, ketika pertama datang, beberapa villa dan cafe moderen tampak tertangkap mata. Meski lokasi ini terbilang masih cukup jauh dari lokasi wisata. 

Orang-orang kota membeli satu dua ladang dengan harga yang tentu bisa digapai dengan murah. Meski kata Pak Dedi, harga tanah semakin hari semakin mahal. 

Dalam obrolan itu juga, beliau memberikan banyak petunjuk di mana disekitaran rumahnya yang masih bercokol ladang-ladang sebenarnya sedang diobral pemilik kebun. Alias lahan-lahan itu siap dibeki jika ada harga yang cocok.

Pembangunan yang masif menjadikan struktur wilayah berubah. Penduduk yang menjual tanahnya di dataran beralih  membuka ladang di lereng-lereng tepat diatas kampung. Sehingga banyak pohkn-pohon yang di tebang.

Sementara sungai, sebagau irigasu alami juga kehilanhan debet air yang sangat kentara. Bahkan sungai kecil itu, semakin hari semakin kehilangan daya.

Satu hal lagi yang cukup menyita perhatian ialah pemakaian pupuk yang berlebihan. Ketergantungan pasa pupuk ilmiah menyebabkan tanah tak gembur lagi.

Benar saja, sejak awal duduk, saya merasakan aroma pupuk yang begitu menyengat. Dan tanah memang tak gembur. Kering, keras dan kasar.

Dokpri
Dokpri

Katanya, pemakaian pupuk kimia sudah berjalan sekitar lima belas tahun belakangan. Dulu, di tahun 1990-an, orang tua-tua di desa ini tak pernah menggunakan pupuk kimia. Mereka lebih banyak menggunakan pupuk organik seperti kompos maupun hasil fermentasi dari beberapa sisa makanan.

Pemakaian pupuk kimia berlebihan menyebabkan tanah ladang tak subur lagu. Sehingga ketika petani hendak melakukan pengolahan kembali, mereka terlebih dulu menebarkan kapur untuk membuat tanah gembur dan beberapa pupuk kimia.

Obrolan itu menjadikan saya sangat penasaran dan teguh menungguh pagi datang untuk berkeliling.

*

Dokpri
Dokpri

Pukul setengah tujuh pagi, dengan matahari yang sayup-sayup menghantar sinar, saya sudah berkeliling. Menelusuri kebenaran dari cerita Pak Dedi.

Saya meninggalkan mereka yang sedanag menyantap berbagai makanan yang disediakan istri Pak Dedi. Makanan khas Jawa Barat yang begitu nikmat.

Saya berkeliling dari satu ladang ke ladang lain. Melihat petani-petani yang sepagi ini sudah beraktifitas. Kemudian menuju ke aliran sungai, lalu berputar-putar ke beberapa ladang dengan berbagai jenis tanaman. Saya sungguh menikmati indahnya oagi seperti ini.

Suasana yang paling saya sukai ialah menikmati sinar mentari menyinari tanamann-tanaman serta berbincang ringan dengan petani.

Selama observasi itu, saya menemukan bahwa memang ada benarnya apa yang diceritakan Pak Dedi. Karung-karung pupuk pada lahan-lahan yang hendak diolah bertebaran dimana-mana. Saya tak ingin menyebut mereknya.

Dokpri
Dokpri

Tanah yang kasar meski air tergenang di dalamnya, bukit yang berubah menjadi ladang hingga hingga sungai yang merindukan fungsinya. Semua itu saya temukan dengan perasaan yang campur aduk. 

Setelah puas, saya kembali dan menyantal makanan yang disediakan tuan rumah. Tentu dengan melemparkan pertanyaan-pertanyaan ke Pak Dedi.

Satu yang kemudian sedikit memberikan harapan ialah, petani sudah mulai memahami bahwa pemakaian pupuk yang berlebihan menjadi salah satu sebab tidak produktifnya tanah mereka. Sehingga langkah-langkah perubahan mulai berlahan dilakukan.

Dokpro
Dokpro

Utamanya, meregenerasi kembali tanah dengan pemakaian pupuk organik. Banyak dari mereka sudah berlahan meninggalkan pupuk kimia meski harus mengeluarkan biaya lebih untuk proses pembuatan pupuk organik.

Dari periode perjalanan ini, saya memahami sebuah hal bahwa pertanian menghadapi berbagai tantangan tetapi seragam. Mulai dari regenerasi petani, permodalan, alih fungsi lahan hingga yang sering sekali saya temukan ialah pemakaian pupuk kimia berlebihan.

Kedepan, harus ada formulasi adil yang mampu memberikan efek pada perubahan. Tanah dan lahan adalah bagian dari strukutur ekonomi sosial di kebanyakan masyarakat Indonesia. 

Pertanian sebagai tonggak perdaban harus mampu dikelola dengan baik utamanya mensinergikan ekonomi hijau yang menjadi tujuan pemerintah. (Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun