Benar saja, ketika pertama datang, beberapa villa dan cafe moderen tampak tertangkap mata. Meski lokasi ini terbilang masih cukup jauh dari lokasi wisata.Â
Orang-orang kota membeli satu dua ladang dengan harga yang tentu bisa digapai dengan murah. Meski kata Pak Dedi, harga tanah semakin hari semakin mahal.Â
Dalam obrolan itu juga, beliau memberikan banyak petunjuk di mana disekitaran rumahnya yang masih bercokol ladang-ladang sebenarnya sedang diobral pemilik kebun. Alias lahan-lahan itu siap dibeki jika ada harga yang cocok.
Pembangunan yang masif menjadikan struktur wilayah berubah. Penduduk yang menjual tanahnya di dataran beralih  membuka ladang di lereng-lereng tepat diatas kampung. Sehingga banyak pohkn-pohon yang di tebang.
Sementara sungai, sebagau irigasu alami juga kehilanhan debet air yang sangat kentara. Bahkan sungai kecil itu, semakin hari semakin kehilangan daya.
Satu hal lagi yang cukup menyita perhatian ialah pemakaian pupuk yang berlebihan. Ketergantungan pasa pupuk ilmiah menyebabkan tanah tak gembur lagi.
Benar saja, sejak awal duduk, saya merasakan aroma pupuk yang begitu menyengat. Dan tanah memang tak gembur. Kering, keras dan kasar.
Katanya, pemakaian pupuk kimia sudah berjalan sekitar lima belas tahun belakangan. Dulu, di tahun 1990-an, orang tua-tua di desa ini tak pernah menggunakan pupuk kimia. Mereka lebih banyak menggunakan pupuk organik seperti kompos maupun hasil fermentasi dari beberapa sisa makanan.
Pemakaian pupuk kimia berlebihan menyebabkan tanah ladang tak subur lagu. Sehingga ketika petani hendak melakukan pengolahan kembali, mereka terlebih dulu menebarkan kapur untuk membuat tanah gembur dan beberapa pupuk kimia.
Obrolan itu menjadikan saya sangat penasaran dan teguh menungguh pagi datang untuk berkeliling.