Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tutango, Memancing Menjelang Malam

18 November 2023   07:12 Diperbarui: 18 November 2023   12:43 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat senja manja di ufuk cakrawala, melukis laut dengan jingga megah, saat itulah perahu-perahu meninggalkan tambatan.

Perahu di dayung oleh satu sampai dua orang dalam sampan. Menuju spot-spot potensial, karang dangkal kedalaman 1-5 meter. Di spot-spot inilah, orang-orang melempar umpan, hingga gelap menjemput. 

Bagi yang tak kebagian perahu, maka batutango bisa dilakukan dari pinggir pantai. Tetapi dengan spot-spot yang jauh dari desa. 

Batutanggo, begitu biasa kami menyebut. Memancing satu ini dilakukan sore hari menjelang Magrib hingga malam. 

Sepintas seperti memancing pada umumnya. Yang membedakan ialah tekniknya. Di mana memakai pemberat bagi yang menggunakan perahu. Hanya menggunakan senar dan kail serta umpan. Lalu di lempar hingga umpan tenggelam dan disambar.

Sementara bagi yang memancing dari pantai, harus memakai pemberat agar lemparan umpannya cukup jauh dan mendarat di tubir-tubir karang.

Menariknya, Tutango hanya dilakukan musim-musim ikan sedang rakusnya. Atau laut sedang tidak bergejolak. Jika sudah begini, yang dijumpai hanya kesunyian yang mendera dalam kampung. Khususnya di Desa. 

Di kota pun, tak jarang mancing batutango juga dilakukan dari pelabuhan-pelabuhan penyeberangan.

Euforia musim batutango selalu menghadirkan banyak kejadian baik lucu hingga apes. Paling santer ialah rebutan perahu. Biasanya anak-anak remaja hingga rumah tangga muda, sudah mewanti-wanti perahu siapa yang akan digunakan nanti malam.

Kadang mereka langsung meminta izin ke pemilik perahu. Apakah malam memancing atau tidak, jika tidak ia akan memakai perahu. Bila izin diperoleh, maka yang lain tidak boleh memakai perahu tersebut.

Baca juga: Perjalanan Waktu

Informasi selalu cepat menyebar dan warga lain tahu itu adalah sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat. Sementara yang lainnya, apalagi anak-anak remaja, auto tak mengikuti aturan.

Siang menjelang sore, persiapan sudah dilakukan. Dua sampai tiga orang. Umpan, senar, kail, hingga amunisi perut. Lalu mengutus anak-anak kecil mencari tahu di mana perahu si warga A tertambat.

Berbekal informasi tersebut biasanya langsung menyusun strategi. Jam berapa harus ke laut. Maksimal harus mendapatkan perahu terlebih dahulu sebelum gigit jari karena sudah lebih dulu dipakai warga lain.

Siapa cepat dia dapat. Maka menjelang magrib, keburu-buruan sudah mulai nampak. Mereka yang sudah berjanji satu perahu sudah standby. 

Uniknya, meski ada persaingan memperebutkan perahu tetapi informasi si A nanti satu perahu dengan si B sudah diketahui. Saling memberikan informasi agar di laut kita bisa mengetahui siapa saja yang memancing malam itu dan di mana spotnya. 

Kondisi ini yang paling saya sukai, sebab di laut malam dengan kegelapan total kita tau siapa yang ada disamping kiri kanan. 

Saat gelap menjamah malam, saat itulah strategi dimainkan. Menuju tambatan perahu, menariknya ke laut dan menuju spot mancing.

Bagi yang tak kebagian tentu harus berakhir dengan melempar umpan dari pinggir pantai. Pemilik perahu, marah sejadi-jadinya. 

Di laut, suasana malam begitu ramai. Dalam satu spot bisa berisi 6-10 perahu. Begitu pun spot lain di sepanjang garis pantai di desa. Di pantai pun begitu, banyak warga yang mengambil posisi berjarak-jarak.

Di saat satu atau dua orang berteriak minye-minye ; satu-satu atau strike. Di saat itulah perburuan dimulai. Spot itu potensial. Maka jadilah sudah sahut-sahutan terjadi di kegelapan malam dan hanya senter-senter kepala yang mati menyala membuka kail dari mulut ikan dan melempar kembali umpan.

Tentu tidak semua bisa meraih hasil maksimal. Kadang boncos adalah kondisi paling sial. Sudah tidak bawa pulang ikan, kena angin malam dan basah karena ait laut, jadi bulan-bulanan ejekan lagi esok harinya.

Maka kadang karena tak mau boncos, baik yang memakai perahu atau dipinggir pantai bakal memancing hingga larut malam. Minimal bisa dapat satu ekor untuk dibawa pulang.

Satu yang saya sukai ialah selama proses memancing baik di atas laut maupun di pantai, berbagi cerita. Apapun bisa dibahas, bisa cinta, kehidupan di desa, masa depan kebun-kebun yang payah karena kurang menghasilkan, agama, etika hingga kematian.

*

Batutango, adalah proses memancing yang hanya dilakukan warga sesekali saja. Bila musim juga laut teduh. Sebuah fenomena dari kehidupan sosial di masyarakat desa pesisir.

Meski ada persaingan rebutan perahu, boncos, bahkan sering ada kejadian aneh seperti diganggu hantu laut, karam, dan terbalik karena menghantam karang dangkal, tetapi selalu ada nilai dan cerita.

Di akhir trip memancing, biasanya ikan-ikan yang diperoleh bakal dibagi satu dua ekor ke tetangga. Sementara pemilik perahu wajib diberikan. Baik yang mendapatkan izin sampai yang tidak memberikan izin memakai perahu mereka.

Bisa saja mengambil keputusan untuk tidak membagi hasil tangkap, tetapi secara etika sosial kondisi ini sangat tidak beradab terutama di desa saya, Mateketen.

Kadang di saat pulang memancing, ikan-ikan hasil tangkapan langsung diolah beberapa ekor lalu memanggil beberapa warga lain khususnya tetangga atau teman untuk makan bersama sembari berbagi cerita saat di laut.

Praktik sosial inilah yang bagi saya selalu unik. Dan saya selalu menantikan musim tutango hadir. Sebab akan ada banyak kejadian dan kelucuan yang tercipta. Juga nilai-nilai yang terus dirawat. (Sukur dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun