Informasi selalu cepat menyebar dan warga lain tahu itu adalah sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat. Sementara yang lainnya, apalagi anak-anak remaja, auto tak mengikuti aturan.
Siang menjelang sore, persiapan sudah dilakukan. Dua sampai tiga orang. Umpan, senar, kail, hingga amunisi perut. Lalu mengutus anak-anak kecil mencari tahu di mana perahu si warga A tertambat.
Berbekal informasi tersebut biasanya langsung menyusun strategi. Jam berapa harus ke laut. Maksimal harus mendapatkan perahu terlebih dahulu sebelum gigit jari karena sudah lebih dulu dipakai warga lain.
Siapa cepat dia dapat. Maka menjelang magrib, keburu-buruan sudah mulai nampak. Mereka yang sudah berjanji satu perahu sudah standby.Â
Uniknya, meski ada persaingan memperebutkan perahu tetapi informasi si A nanti satu perahu dengan si B sudah diketahui. Saling memberikan informasi agar di laut kita bisa mengetahui siapa saja yang memancing malam itu dan di mana spotnya.Â
Kondisi ini yang paling saya sukai, sebab di laut malam dengan kegelapan total kita tau siapa yang ada disamping kiri kanan.Â
Saat gelap menjamah malam, saat itulah strategi dimainkan. Menuju tambatan perahu, menariknya ke laut dan menuju spot mancing.
Bagi yang tak kebagian tentu harus berakhir dengan melempar umpan dari pinggir pantai. Pemilik perahu, marah sejadi-jadinya.Â
Di laut, suasana malam begitu ramai. Dalam satu spot bisa berisi 6-10 perahu. Begitu pun spot lain di sepanjang garis pantai di desa. Di pantai pun begitu, banyak warga yang mengambil posisi berjarak-jarak.
Di saat satu atau dua orang berteriak minye-minye ; satu-satu atau strike. Di saat itulah perburuan dimulai. Spot itu potensial. Maka jadilah sudah sahut-sahutan terjadi di kegelapan malam dan hanya senter-senter kepala yang mati menyala membuka kail dari mulut ikan dan melempar kembali umpan.
Tentu tidak semua bisa meraih hasil maksimal. Kadang boncos adalah kondisi paling sial. Sudah tidak bawa pulang ikan, kena angin malam dan basah karena ait laut, jadi bulan-bulanan ejekan lagi esok harinya.