Sudah sejak dulu, hanya ada satu sosok di setiap hajatan berbasis gotong royong utamanua Leliyan yang menjaga makanan. Ia yang memberikan titah, makanan-makanan apa saja di keluarkan, disajikan hingga dibagikan ke seluruh penduduk desa. Â Selebihnya, tidak boleh ada campur tangan. Mereka Ialah hakim dalam manajemen tanpa buku teks.
Saya sangat suka suasana ketika para warga desa menepihkan waktu pribadinya dan bahu gotong royong khususnya dalam kegiatan Leliyan, bersama warga lain menyukseskan agenda dari pemilik hajatan.
Mereka meninggalkan aktivitasnya sebagai petani atau nelayan. Memilih tidak masuk hutan atau memancing.Â
Dari pagi hingga malam, warga aktif melakukan kegiatan di lokasi hajatan. Mengambil kayu di hutan, membela kayu, mengupas kelapa, membuat minyak kelapa, membuat santan, memasang tenda, mengangkut meja, memasak (menanak nasi, sayur, ikan dan lauk pauk) serta aktivitas lainnya yang diperlukan.
Bagian memasak inilah yang juga tak luput dari perhatian. Di mana semua hasil makanan  seperti kue dan roti, di jaga oleh seseorang.  Di sebuah ruangan khusus yang tidak bisa dimasuki orang lain selain dirinya. Biasanya ruangan ini ialah ruangan untuk menyimpan roti atau kue.
Sementara makanan hasil masakan atau ayami, juga punya tempat khusus di dapur, juga dijaga olehnya atau seseorang yang sudah menyandang status dipercaya.Â
Mereka biasa dibantu beberapa orang, tak lebih dari 5 orang jika tiba saat makan siang. Atau saat puncak hajatan. Di mana kesibukan sesungguhnya dimulai.
Bagi saua, ini sebuah tradisi unik. Saya sering menyebutnya sebagai manajemen paling klasik tanpa buku teks. Tidak dipelajari, tapi di turun temurun dipraktekan.
***
Asap mengebul mengepung dari berbagai sisi. Kayu-kayu hasil belahan terbakar pada tungku-tungu. Nasi, sayur, ikan di masak. Area rumah hajatan biasanya menjadi tempat tungku dibangun. Di segala sisi.Â
Setiap Tungku tersebut ditangani lebih dari 5 orang. Menjalankan tugas dan tanggung jawab masing-masing.Â
Area dapur menjadi sangat sibuk. Selain memasak, segala aktivitas dilakukan. Mencuci piring, membuat sambal, membuat santan dll.
Semua itu dikerjakan penuh keharmonisan. Ada cerita, kisah dan canda tawa yang menyertai.
Sementara yang lain memasak, di ruang tengah tempat di mana makan siang atau  tempat makanan bakal disajikan juga nampak kesibukan.Â
Para wanita, biasanya para remaja menyusun piring, menyediakan gobokan, gelas dan air minum sesuai dengan kursi yang tersedia. Kadang juga dibantu oleh para pria.
Para remaja inipula yang kemudian bolak balik ke dapur mengambil makanan-makanan yang akan dihidangkan. Â Meja panjang harus terisi dan siap sebelum makan siang dimulai
Setelah semua persiapan di rasa cukup, tuan rumah bakal memanggil semua warga desa untuk makan siang. (Kondisi ini berbeda jika hari puncak hajatan).
Bagian ruang tamu biasa di isi oleh para orang tua pria. Mulai dari orang penting di desa (Imam Masjid dan Marbot, Perangkat desa, dan para sesepu). Sementara di luar atau di teras rumah berisi para remaja, dan rumah tangga muda (tak berbeda umur).
setelah itu, santap-menyantap dilakukan. Yang tentu dalam proses ini juga harus ada yang mengawal yakni para pelayan. Mereka ialah para pria yang bertugas mengisi air, menambah lauk atau apapun yang di minta oleh warga yang sedang makan.
Setelah selesai, meja dibersihkan. Kemudian dilanjutkan dengan proses yang sama untuk menjamu para ibu-ibu. Atau para perempuan dengan pola yang sama.
Pola ini biasa dilakukan saat sarapan pagi dan makan siang. Sementara puncak hajatan mekanismenya berbeda. Namun kurang lebih sama dalam hal kesiapan dan penyajian. Sudah dibahas pada artikel-artikel sebelumnya)
Dalam kesiapan penyajian inilah, sosok penting yang mengatur arus volume makanan atau ayami memainkan peranan sangat penting. Penjaga Makanan. Orang paling adil dalam manajemen distribusi makanan.
Saya belum menemukan sumber lisan yang akurat seperti kapan tepatnya orang-orang ini menyandang status sebagai penjaga kue dan ayami. Sebab, selama mereka masih kuat dan masih bisa beraktivitas, mereka di setiap hajatan mengambil peran ini.
Dalam beberapa tutur lisan hasil tanya-tanya, para ibu yang mengemban tugas sebagai penjaga ayami adalah mereka yang sudah berumur serta sangat dipercayai oleh masyarakat. Mereka yang dituakan dan sangat dihargai di desa.
Tuan rumah dan kepala dapur; yang mengatur apa saja yang akan di masak dll, biasnaya akan memutuskan siapa yang menjaga kue dan siapa yang menjaga makanan. Kemudian dari hasil itu di sampaikan ke yang bersangkutan.
Juga kadang tidak perlu ada kesepakatan sebab, hanya ada beberapa orang di desa. Tidak lebih dari 3 orang.
Di dapur seperti yang disebutkan sebelumnya di atas, semua orang memiliki peran. Dan penjaga makanan maupun kue bertugas untuk menjaga agar semua makanan terbagi rata.
Saya sering melakukan cocoklogi. Misalnya jika Mantan Mentan Syahrul Yasir Limpo dalam keterangannya bilang ia mengurus makan 250 juta rakyat Indonesia maka seorang penjaga makanan bisa dibilang sama. Tetapi dalam konteks skala yang kecil. Tetapi tidak membuthkan kalkulasi rumit. bahkan ekspor atau impor, bahkan disertivikasi.
Secara ringkas, tugas mereka ialah menjaga agar tidak ada makanan atau kue ang di ambil dengan sengaja. Sehingga salah satu tugas penjaga kamar kue ialah dia yang berhak membuka atau menutup pintu.
Kemudian dalam proses penyajian, tugas mereka mendistribusikan dengan tertata dan rapi. tugas paling penting lainnya ialah mengendalikan dapur di mana kesibukan sangat terasa. Bahkan saya sering di marahi jika menggangu aktivitas dapur.
Dalam proses penyajian misalnya penyajian kue, penjaga kue akan menata dalam satu wadah berapa isi dalam wadah tersebut dengan ketersediaan kue yang ada.
Ia juga bertugas melaporkan ke kepala dapur jika kue sudah berkurang atau belum. Salah satu yang saya tangkap ialah adanya manajemen dalam akuntansi yakni masuk pertama keluar pertama dan masuk pertama keluar terakhir.
Baik penjaga kue maupun ayami keduanya mentur pola agar merara. Bahkan yang paling mengena dalam pandangan saya ialah mereka membagikan semua makanan ke setiap rumah yang ada di desa.
Keputusan itu sudah mempertimbangkan berapa banyak yang bakal di konsumsi untuk hajatan. Atau sudah membuka porsi hajatan utama.
Pembagian ke rumah-rumah biasnaya dimulai ketika hajatan sudah berlangsubg atau pembacaan doa sedang dilaksanakan.
Ibu-ibu yang sudah selesai memasaka memiliki tugas ini.
Apakah mereka bisa disogok? Tidak. Jangan sekali-kali melakukan negoisiasi jika tak ingin dimarahi. Meski itu anak cucu mereka sendiri.
Saya sering kena omel perkara hanya ingin menambah lauk.Â
Lalu apakah mereka bisa diganti dengan orang lain? Bisa. Itu terjadi ketika mereka sudah sangat tua dan tak mampu lagi beraktivitas. Biasnya sudah ada generasi penerus yang mereka pilih. Mereka yang dipilih itulah yang melanjutkan tongkat estafet.
Perjalanan kehidupan mengajarkan mereka siapa yang berhak menjaga warisan tersebut.
***
Penjaga ayami merupakan orang-orang terpilih. Banyak hal yang saya tangkap utamanya tentang tata kelola dalam suatu kegiatan sosial. Di mana semua berjalan sangat rapi dan jarang menimbulkan konflik.
Warga puas atas apa yang mereka kerjakan. Mungkin inilah bentuk kenapa warga percayaan yang  Disandang. Amanah yang diemban dijalankan sunggub-sungguh.
Kepercayaan dalam sebuah tanggung jawab yang ketika dijalankan dengan lurus bakal membuahkan nilai positif.
Berikutnya saya memandang ini sebagai manajemen klasik. Meski secara ilmiah tidak ada sumber referensi. Namun apa yang diprektekan mencirikan bahwa manajemen yang baik dapat menentukan arah kesuksesan dari sebuah tujuan.
Sebuah pelajaran dan ilmu yang justru hadir di kehidupan sehari-hari. Utamanya kami di timur Maluku Utara (sukur dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya