Pukul sembilan pagi, para pria dewasa dan remaja sudah berkumpul di rumah salah satu warga. Meneguk teh hingga kopi di meja panjang yang disediakan pemilik rumah.Â
Roti balok- roti  yang dibakar pada cetakan segi empat-biasa warga desa menyebut menjadi pelengkap sarapan. Sedikit tawa dan cerita terbangun dalam suasana hikmat tersebut.
Di desa sedang ada hajatan, sehingga prosesi bokiyan atau gotog royong dilakukan warga. Tua muda, pria wanita bakal berkumpul hingga beberapa hari kedepan untuk membantu kesiapan dan persiapan acara. Mulai dari memasak, membakar roti, membelah kayu, mengambil kelapa, dll.Â
Pagi ini para pria seperti biasa akan menuju hutan. Mereka akan membagi kelompok. Mulai dari mengambil kayu bakar, mencari sayur (rebung, buah nangka muda dan sayur lilin), memetik buah kelapa untuk dijadikan santan dan minyak kelapa, daun kelapa dan bambu atau bulu.
Saya sendiri ikut dalam rombongan mengambil bambu yang bakal digunakan untuk membuat satu makanan tradisional yakni Nasi Jaha, makanan tradisional yang dimasak memakai wadah bambu.
Belum jelas arti Jaha namun ini merupakan bahasa Ternate. Meski di Sulawesi Utara penyebutan makanan satu ini juga sama.
Setelah baalas atau sarapan pagi, kami bergerak memasuki hutan. Terhitung enam orang menuju lokasi bambu yang hendak di tebang.
Bambu di desa saya, Mateketen, Kabupaten Halmahera Selatan, tumbuh liar dan tidak dibudidayakan. Kebanyakan bambu berlokasi di pinggir jurang curam dan berada di kebun-kwbun warga, sehingga sebelum menuju ke lokasi yang ditentukan, kami sudah harus mendapatkan izin dari tuan kebun.
Perjalanan mengambil bambu terbilang cukup sulit. Medan yang curam karena berada di pinggir jurang membuat kami harus hati-hati. Kami selalu saling mengingatkan agar jangan sampai salah injak dan jatuh ke jurang.Â
Di lokasi tidak semua dari kami bekerja memotong bambu melainkan hanya satu atau dua orang. Kondisi ini guna menjaga agar bambu tidak terpental dan melukai yang lain.
Bambu yang kami ambil di desa disebut bambu jaha. Bambu tipis dengan ruas panjang.Â
Bambu yang sudah ditebang kemudian ditarik satu persatu ke dataran rata kemudian dibersihkan lalu diikat 5-7 batang dan kemudian di tarik menuju kampung.
Memang sedikit terdengar mudah namun menarik bambu butuh tenaga apalagi jika menghadapi medan tanjakan. Tenaga benar-benar terkuras.
Bambu itu kami tarik ke pantai, kemudian dipotong-potong peruas lalu dibersihkan luar dan dalam agar tidak gatal.
Setelah selesai, bambu tersebut dibawa ke lokasi pembakaran tempat di mana ibu-ibu sudah siap menunggu.
Ibu-ibu atau para wanita dewasa sebelumnya sudah menyiapakan bahan-bahan untuk memasak Nasi Jaha.
Pagi hari mereka sudah memarut kelapa, kemudian meremas hasio parutan menjadi santang kelapa. Kemudian menyiapkan daun pisang, membuat tungku panjang dari bambu, menyiapkan batok kelapa dan mencuci beras.
Beras Nasi Jaha disebut nasi Pulo, atau lebih tepatnya beras ketan. Beras-beras itu di cuci sebersih mungkin dengan ukuran. Diperhitungkan berapa banyak yang mereka akan masak.Â
Pengalaman turun temurun sudah cukup menakar berapa liter untuk menghasilkan 100 potong Nasi Jaha tanpa perlu ukuran yang ribet.
Pembuatan Nasi Jaha dimulai dengan mengisi daun pisang muda kedalam bambu. Kemudian di masukan beras lalu dimasukan santan. Â Kemudian dibakar di bara api yang sudah disediakan sebelumnya. Proses ini murni dilakukan oleh ibu-ibu.
Saya suka menyimak aktivitas yang mereka lakukan. Lantaran ada tawa dan cerita yang selalu mereka bagi.
Dalam aktivitasnya, pupur atau bedak tradisional selalu melekat diwajah. Menjaga agar wajah tidak terpangaruh paparan sinar mentari atau kepungan asap yang membuat wajah jadi hitam. Tak lupa pinang, kapur dan siri memerahi bibir.Â
Mereka berbagi cerita apa saja. Sekolah anak-anak, pacar bagi yang belum menikah, hasil-hasil kebun, keluarga bahkan sering hal-hal sensual. Yang bikin mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Proses memasak terbilang cukup panjang. Bambu yang dibakar sesekali harus dicek. Agar nasi tidak hangus. Ada tahapan dalam setiap setengah jam yakni menambahkan santan kedalam bambu.
Proses ini memakan waktu sekira sejam lebih, tergantung bara api. Dua atau tiga orang bertugas sebagai pengontrol. Mereka yang berpengalaman akan selalu memantau apakah nasi jaha sudah matang atau belum.Â
Cukup dengan melihat ujung paling atas bambu mereka tau matang atau belum. Saya sendiri belum menemukan jawaban kualitas kontrol tersebut.
Di samping menjaga proses memasak nasi jaha, biasanga mereka sekaligus membakar ikan.
Setelah masak, bambu akan dipindahkan ke bagian penjaga makananan. Setelah didinginkan bambu tersebut lalu dibela, dipotong -potonv dan disajikan.
Tidak semua dibelah, sebab bambu akan dibela jika akan disajikan. Utamanya pada saat malam hajatan.
Nasi jaha paling diburu ialah ujung paling atas karena lembek dan sangat empuk di cerna. Berbeda dengan palig bawah bambu yang cenderung keras karena sangat dekat dengan perapian. Sehingga saat pemotongan ujung paling atas sangat diburu.
Maka untuk menjaga agar tidak semua ujung paling atas hingga ke tengah di konsumsi sebelum acara puncak,penjaga makanan atau penjaga kamar makanan memiliki tugas yang sangat pemting.
Penjaga kamar adalah seseorang yang bertugas menjaga makanan disebuah ruangan. Keluar atau tidak makanan tersebut disajikan tergantung keputusannya. Biasanya dijaga oleh orang yang lebih tua.Â
Tugasnya memastikan agar makanan tetmanajemen dengan baik hingga acara seledai.
Nasi Jaha atau nasi bambu banyak terdapat diberbagai daerah. Khususnya di Timur. Proses memasak menggunakan bambu ini sudah dilakukan turun temurun. Makanan ini selalu mengiringi setia acara kebudayaan.Â
Nasi Jaha selalu disajikan dengan ikan bakar maupun menu lainnya. Meski dimakan biasapun enaknya luar biasa
Di kota sudah menjadi jajajanan atau kuliner tapi di desa Nasi Jaha memiliki makna yang sangat kuat. Disajikan saat acara puncak dan menjadi salah satu makanan atau ayami utama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI