Korupsi, sepertinya masih menjadi momok bagi Indonesia. Barang satu ini belum berhasil di tekan. Dari prakteknya, penindakan, pencegahan, hingga regulasi.Â
Berbagai aksi dalam upaya menurunkan praktik korupsi, belum berbuah manis. Masih stagnan. Tidak mengalami perubahan sama sekali.
Laporan Transparency Intrnational Indonesia 2022 memperlihatkan posisi korupsi Indonesia  semakin buruk. Dalam dokumen indeks presepsi korupsi Indonesia, penilaian korupsi pada sektor publik, posisi Indonesia berada di peringkat 130 dengan skor 34/100.Â
Sejauh saya memahami, skor ini sangat rendah. Sebab sebuah negara yang bersih korupsi baik berada di angka 100. Artinya butuh 66 point untuk mencapai level itu. Selain itu, angka ini juga melorot 4 point dari skor 38 di tahun 2021.
Secara statmen, dikatakan paling buruk sejak 1955 (1). Dan secara regional di kawasan asia, Indonesia Negara terkorup ke enam.
Sungguh label "Negara Terkorup" tidak membangakan. Apalagi negara yang selalu menjunjung tinggi nilai perlawanan terhadap korupsi. Ataukah kita cukup bangga dengan label ini?Â
Laporan ini menandakan bawa segala daya upaya dalam melawan korupsi, masih isapan jempol. Ditengah geliatnya berbagai kebijakan pendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi korupsi masih mengakar.
Yap, mengakar. Seperti tak ada habisnya akar-akar itu tertebas. Mati satu tumbuh jutaan. Merengsek kemana-mana. Kuat dan mengikat. Padahal, Indonesia sempat dianggap berhasil oleh negara lain. Bahkan tak jarang menjadi role of model pemberantasan korupsi.
Kenapa demikian? Sehingga korupsi seperti sangat sulit di lawan?
Dalam kacamata pribadi saya, ada beberapa aspek yang menjadi faktor atau dalang, korupsi masih merajalela. Baik secara internal maupun secara eksternal.Â
Pertama. Saya meyakini bahwa segala perubahan terutama terkait dengan jalannya negara didasarkan pada kebijakan. Yakni. Revisi UU KPK. Kebijakan revisi UU KPK memberikan lubang yang mengagah.
Utamanya, pada proses selektif dalam tubuh KPK sendiri hingga menurunnya nilai demokrasi. Yakni, rendahnya atau melemahnya pengawasan dari publik. Partisipasi publik belakangan menjadi sangat rendah.
Selain itu, KPK menjadi lemah secara kelembagaan lantaran masuk bagian eksekutif. Yang seharusnya independen.
Kedua, keseriusan pemerintah. Terutama pada tumpang tindih statmen dan komitmen memberantas korupsi pada setiap lembaga. Inefesiensi kinerja pemerintah patut disoroti.
Ketiga, konflik kepentingan. Baik legislatif, eksekutif  maupun pebisnisis. Tiga sektor utama dalam sebuah negara. Di mana masing-masing bergerak dalam keputusan kepentingan. Negara harus mengatur sektor bisnis dengan ketat. Tidak mewakili sebuah kepentingan atau kelompok politik tertentu.Â
Saya selalu meyakini bahwa ketiga aktor ini harus berdiri tanpa campur sana-sini. Artinya jika esksekutif bermain pada ritme pebisnis maka kebijakan kepentingan selalu mengarah pada bagian-bagian bisnis tertentu.
Keempat. Belum efektifnya pelayanan publik. UU Ciptaker menjadi sorotan belakangan. Kebijakan yang seharusnya memberikan peluang pencegahan namun nyatanya belum bejalan baik.
Pelayanan publik yang saat ini ditransformsikan dalam digitalisasi, perizinan single submission adalah upaya perbaikan dan pencegahan korupsi. Â Tetapi sejauh ini, praktik korupsi masih menjadi momok. Transaksional bawah meja masih banyak terjadi.
Di atas hemat saya, hanya beberapa faktor dari sekelumit faktor pendorong kenapa korupsi masih mengakar. Point utama adalah pencegahan yang belum efektif dijalankan. Pencegahan menjadi sangat penting diimplementasikan. Sejauh ini pengurangan penindakan ke pencegahan belum maksimal.Â
Namun bagi saya hal yang sangat penting ialah meendorong partisipasi publik menjadi lebih kuat. Partisipasi publik sebagai ujung tombak pengawasan ada pada setiap individu maupun lembaga.Â
Kehadiran pastisipasi publik yang terbuka tanpa dibatasi adalah salah satu upaya pencegahan selain dari upaya pemerintah meminumalisir korupsi.
Maka, sudah sepatutnya ini menjadi catatan. Bahwa korupsi kanker yang harus diberantas bersama-sama. Sehingga tidak terjadi distorsi ekonomi dan sosial.Â
Dan paling penting dan utama adalah, komitmen bersama membertas korups. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H