Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Games Artikel Utama

Boy Tampurung, Permainan Tradisional yang Kehilangan Zaman

7 Januari 2023   05:10 Diperbarui: 7 Januari 2023   19:44 2019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak memainkan permainan Boy Tampurung (Dokpri)

Permainan tradisional latto-latto atau apapun sebutannya di tiap daerah belakangan viral kembali. Dimainkan hampir setiap kalangan, tentu ini sedikit melegakan. Permainan tradisional mempunyai sedikit nyawa untuk hidup. Setidaknya masih tersisa atas lajunya perkembangan teknologi di mana game tradisional tidak mendapat tempat.

Latto-latto adalah bagian yang mengambil peran. Setidaknya telah mengingatkan banyak orang utamanya generasi 90-an bahkan jauh sebelum itu. Kenangan akan permainan ini dan permainan tradisional lain terpungut kembali. 

Sama halnya dengan permainan tradisional Boy Tampurung. Permainan ini sudah sangat jarang dimainkan oleh anak-anak di desa. Intensitasnya tak masif, berbeda dengan generasi saya di mana tiap sore selalu di mainkan.

Hadirnya latto-latto secara eksplisit mengundang atensi pada permainan lain. Walaupun belum pasti apakah berpengaruh satu sama lain. Tetapi itulah yang kemudian saya temukan di desa. Anak-anak kembali bermain permainan tradisional yakni Boy Tampurung.

Boy Tampurung sendiri tidak memiliki arti jelas. Tampurung adalah batok kelapa kering yang sudah tak punya daging buah dan kulit. Sementara Boy tak asa referensi sama sekali. 

Permainan Boy Tampurung ini dimainkan oleh dua tim. Satu tim berjaga dan satu tim berusaha menyusun tempurung itu hingga selesai. 

Dokumentasi pribadi.
Dokumentasi pribadi.

Permainan ini sangat sederhana. Mula-mula disediakan beberapa batok tempurung kelapa 10-20 biji, lalu disediakan bola plastik. 

Setelah tersedia, langkah selanjutnya ialah pembentukan tim. Pemilihan tim tidak asal menujuk satu dengan lain. Melainkan dipakai sistem hom pim pa mirip batu gunting kertas tapi sistemnya berbeda. 

Sistem ini dirasa adil. Sebab dalam satu tim akan ada komposisi beragam. Mulai dari kecil, laki-perempuan, hingga yang paling besar.

Selain itu, peserta permainan harus genap atau ganjil agar seimbang melakukan penjagaan mirip seperti sepakbola, yang mana satu orang menjaga satu. Luas area pun diatur sehingga yang keluar otomatis keluar dari permainan.

Setelah selesai, tugas berikutnya ialah penjahat tempurung akan berusaha mengalahkan perebut. Sementara perebut bakal berusaha menyusun tempurung hingga tersusun habis.

Keseruan di mulai dengan aba-aba. Setiap orang menjaga satu perebut. Kemudian ada satu pelempar bola dan satu penjaga tempurung.

Setiap perebut yang terkena lemparan bola pada semua anggota tubuh otomatis tereliminasi. Di sisi perebut ada tim penghindar yang bertugas menyusun tempurung ketika lawan sedang teralihkan dan tim pengalih.

Dokpri
Dokpri

Tim pengalih yang dilempar bola bisa menyentuh bola jika memakai tempurung. Artinya menepis boka dengan tempurung yang tergenggam. 

Mereka punya hak memukul bola sejauh-jauhnya sehingga anggota tim lain punya kesempatan menyusun tempurung secara vertikal hingga tempurung selesai.

Kalau bola yang di pukul sangat jauh, kadang permainan dimenangkan dengan mudah. Walaupun begitu tidak mudah menyusun tempurung dengan intensitas cepat. Kadang jika sudah disusun mendekati akhir justru ambruk lagi. 

Tim perebut yang kalah jika semua tereliminasi, dan bertukar menjadi penjaga.

Menurut saya, permainan ini mengajarkan banyak hal. Pertama, tidak ada diskriminasi dalam pemilihan tim. Semua seimbang dengan sistem yang adil.

Kedua, kerja sama antar kelompok anggota di mana ada tingkat kepercayaan yang diberikan. Masing-masing menjalankan tugas dengan baik.

Ketiga, kebersamaan. Baik tim perebut dan pejaga sama-sama nenainkan dengan penuh kebersamaan dan kehangatan. 

Permainan ini masih sulit dipahami anak-anak. Namun saya memaknai setiap permainan memberikan pelajaran yang berharga dikemudian hari.

Permainan tradisional mengalami krisis. Kehadiran latto-latto memberikan peluang dan kesadaran bahwa masih ada harapan untuk merawat permainan tradisional agar tetap hidup. (Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Games Selengkapnya
Lihat Games Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun