Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Resolusi 2023, Ingin Punya Jembatan

31 Desember 2022   13:28 Diperbarui: 3 Januari 2023   05:26 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setiap ke kota harus basah terus," umpat salah satu warga yang hendak naik ke speedboat. 

Celana pendek yang dikenakan bukan jaminan ia tak basah. Semabri mengumpat ia naik dari belakang. Menginjakan kaki telanjangnya di celah mesin tempel yang terapit. Ruang sempit itu digunakan oleh penumpang untuk naik ke speed boat.

Belum lagi ia benar-benar naik, ombak pantai menyapu kapal. Dan ia pun basah kuyup. Setengah badan dari kaki hingga dada tersapu.

"Pemerintah oi pemerintah. Tidak bisa apa bangun satu jembatan," umpatnya lagi. 

Masyarakat baik yang mengantar maupun penumpang tertawa serentak. Momen itu sudah dianggap sebagai candaan ketimbang kesengsaraan.Kalau sudah basah dan pasti basah apa boleh buat. Tetap naik, dan tetap bertahan hingga pakaian yang dikenakan kering dengan sendirinya.

Ombak memang sedang mengganas beberapa hari ini. Desember seperti pertunjukan kekuatan alam. Menyapu semua pesisir kepulauan. Menggerus sejengkal demi sejengkal pasir hingga tak bersisa

Dokpri
Dokpri

Laut dan Desember tak memberi ampun buat warga melakukan perjalanan. Atau, pemilik speedboat mencari nafkah.

Tapi sekali cuaca sedikit bersahabat, tak sejengkal pun kesempatan dilewatkan. Warga berbondong-bondong ke kota mengurus keperluan. Tentu dengan konsekuensi klasik yang terus dihadapi. 

Tiada jembatan labuh, ombak hingga ketiadaan alternatif angkutan laut. Kata kasarnya "tidak bisa memilih". Apa yang tersedia, itulah yang terpilih. Monopoli sosial, tidak punya pilihan akibat ketimpangan.

Pesisir dan kepulauan memang identik dengan sulitnya akses transportasi dan sarana pendukung. Sekalipun ada, fasilitas tersebut terlalu jauh.

Keterjangkauan terhambat oleh banyaknya proyek efisiensi yang mangkrak. Jalan jembatan utamanya. Di Pulau-pulau terluar, segala proyek itu mati suri. Entah kelalaian kontraktor atau ketidakpedulian pemerintah. Intinya keduanya tak seimbang. 

Terutama pada keberlanjutan proyek atau pengawasan dan tindakan tegas atas mangkraknya proyek.

Dokpri
Dokpri

Proyek yang ujung tombaknya membikin masyarakat mudah mengakses justru menjadi dilema inefisiensi. Butuh biaya besar dan tenaga hanya untuk mengakses fasilitas ke kota.

Di Pulau yang saya diami yakni Pulau Makian Luar tidak ada satupun desa dari 8 desa yang memiliki jembatan. Hanya satu desa namun jarak antar desa yang menyita waktu enggan digunakan. 

Apalagi harus menempuh jalan dengan naik turun jurang atau kali mati melewati beberapa desa. Memakai sepeda motor cukup melelahkan apalagi jalan kaki dengan segala jenis barang belanjaan. Tak ada mobil di sini.

Masyarakat lebih suka turun langsung tepat dibelakang rumah. Sehingga itulah yang membikin pola keberangkatan dan kedatangan berada di pantai desa masing-masing.

Disparitas pembangunan begitu terasa. Pulau yang dikenal sebagai Pulau Kenari ini terbagi dalam dua suku, yakni Suku Makian dalam dan Suku Makian Luar.

Di Makian dalam atau mayoritas penduduk yang berada di sebelah selatan Pulau, fasilitas terbangun dengan baik. Jalan, jembatan, fasilitas publik; rumah sakit; sekolah dan beberapa kantor pemerintah, hingga sarana transportasi laut yang banyak tersedia.

Sementara di Makian Luar berbanding terbalik. Jalan jembatan masih isapan jempol, fasilitas publik hanya beberapa dan fasilitas transportasi laut sama sekali tidak ada.

Salah satu yang menjadi perhatian ialah jembatan labuh. Sudah lama barang satu ini dikeluhkan. Bahkan dalam setiap momen politik atau kunjungan kepala daerah, disuarakan.

Hasilnya janji yang mendarat di telinga dan realisasi yang tak kunjung pasti. 

Beberapa kali pula usulan desa lewat kecamatan didengungkan. Dimintakan ke pemerintah daerah tapi itu kemungkinan hanya berakhir di meja depan. Tak masuk sampai ke tangan pengambil kebijakan.

Alhasil, kondisi ini menyebabkan lahirnya stigma negatif kepada pemerintah. Pemerintah adrun, Pemerintah tak adil, pemerintah hanya ingin suara, dll. Suara-suara itu belakangan mulai menggema hingga kadang pejabat daerah yang turun tak segan diusir pulang.

Saya mencoba memahami kondisi ini. Betapa masyarakat tidak muluk-muluk meminta dibangunkan apa-apa yang menguras kantong daerah. Hanya jembatan sederhana yang bisa membikin mereka leluasa menaiki kapal tanpa harus basah karena ombak yang menerpa.

Maka salah satu harapan dan resolusi 2023 dari representasi warga desa adalah ingin punya jembatan. Mereka juga patut menggunakan sepatu kets, celana panjang, baju keren dengan gaya modis untuk ke kota. (Sukur dofu-dofu)

Penumpang yang mengantri naik (Dokpri)
Penumpang yang mengantri naik (Dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun