Pesisir dan kepulauan memang identik dengan sulitnya akses transportasi dan sarana pendukung. Sekalipun ada, fasilitas tersebut terlalu jauh.
Keterjangkauan terhambat oleh banyaknya proyek efisiensi yang mangkrak. Jalan jembatan utamanya. Di Pulau-pulau terluar, segala proyek itu mati suri. Entah kelalaian kontraktor atau ketidakpedulian pemerintah. Intinya keduanya tak seimbang.Â
Terutama pada keberlanjutan proyek atau pengawasan dan tindakan tegas atas mangkraknya proyek.
Proyek yang ujung tombaknya membikin masyarakat mudah mengakses justru menjadi dilema inefisiensi. Butuh biaya besar dan tenaga hanya untuk mengakses fasilitas ke kota.
Di Pulau yang saya diami yakni Pulau Makian Luar tidak ada satupun desa dari 8 desa yang memiliki jembatan. Hanya satu desa namun jarak antar desa yang menyita waktu enggan digunakan.Â
Apalagi harus menempuh jalan dengan naik turun jurang atau kali mati melewati beberapa desa. Memakai sepeda motor cukup melelahkan apalagi jalan kaki dengan segala jenis barang belanjaan. Tak ada mobil di sini.
Masyarakat lebih suka turun langsung tepat dibelakang rumah. Sehingga itulah yang membikin pola keberangkatan dan kedatangan berada di pantai desa masing-masing.
Disparitas pembangunan begitu terasa. Pulau yang dikenal sebagai Pulau Kenari ini terbagi dalam dua suku, yakni Suku Makian dalam dan Suku Makian Luar.
Di Makian dalam atau mayoritas penduduk yang berada di sebelah selatan Pulau, fasilitas terbangun dengan baik. Jalan, jembatan, fasilitas publik; rumah sakit; sekolah dan beberapa kantor pemerintah, hingga sarana transportasi laut yang banyak tersedia.
Sementara di Makian Luar berbanding terbalik. Jalan jembatan masih isapan jempol, fasilitas publik hanya beberapa dan fasilitas transportasi laut sama sekali tidak ada.