Kompasianival 2022 sebentar lagi terselanggara. Sebuah acara yang ditunggu-tunggu bagi para Kompasianer, terutama saya sendiri.Â
Tiga tahun ini, semenjak Kompasianival 2020, 2021 dan 2022, Â diberi kesempatan masuk Nomine pada kategori yang sama yakni Best Citizen Jurnalism.Â
Kata seorang kawan " seperti sepakbola. Masuk final namun gagal menang di dua tahun sebelumnya,". Namun saya tidak mempermasalahkan satir tersebut.Â
Bagi saya, masuk saja sudah cukup bahagia. Saya patut berterima kasih dan memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada Kompasianer yang terus memberikan dukungan. Lewat pengajuan hingga vote.Â
Soal menang saya tak seantusias saat  pertama masuk nomine tahun 2020. Kualitas para kompasianer yang masuk Nomine di Best Citizen Jurnalism juga patut diperhitungkan. Artikel-artikel mereka berbobot dan bernilai. Memberikan banyak manfaat.
Awal mula bergabungÂ
Saya bergabung tahun 2017. Saat berkenalan dengan salah satu kompasianer asal NTB, Ahyar Rose namanya. Ketika sama-sama ngekos di Dramaga Bogor
Lewat beliau, saya diajarkan dunia menulis paling dasar yakni memulai.
 Yap, hal paling dasar itu ia ajarkan agar mahasiswa seperti saya harus mau dan mampu menulis. Penggila buku ini kemudian memberikan motivasi bagaimana dunia kepenulisan daei A-z. Hingga jiwa menggebu-gebu untuk mau menulis.
Jadilah dalam empat bulan, ia menjadi mentor setia yang mengoreksi setiap kata yang tertulis dari sata yang awam ini. Diperbaiki, dirahkan hingga tak jarang dihapus karena tak nyambung sama sekali.
Sebagai pemula, tentu kesulitan dalam diri terus menggrogoti. Di satu sisi ingin cepat menulis, di satu sisi tidak tau apa yang hendak ditulis.
Barulah sebuah rumus ia berikan " tulislah yang kamu rasakan dan alami. Lingkunhan mu, penglihatanmu. Abaikan dulu metode. Kamu bakal belajar itu jika sudah terbiasa.,"
Barulah itu memberikan keajabian. Satu buah artikel pendek berhasil tertulis. Tak sampai 1000 kata namun mampu membikin hati senang.
Kemudian, berlanjut pada pengenalan Kompasiana. Di mana dia pulah yang memberikan tutorial pendaftaran hingga menerbitkan.
Hari-hari berlalu, di 2017 itu, dunia menukis dan kompasiana seperti kebutuhan primer. Apapun ditulis. Puisi, cerpen, story hingga opini. Â Di masa itupulah, saya merasakan proses pencarian jati diri. Di mana posisi dalam semua genre ini.
Dalan proses pencarian itu, menulis tetap dilakukan walau sehari atau tiga hari satu artikel. Â Menariknya, lewat kebiasaan satu ini, kawan-kawan lain di Jakarta kemudian ikut menulis di Kompasiana.
Proses kami lalui dengan panjang. Dan berbuah beberapa output. Diantaranya berdiri sebuah media online di tahun 2018 bernama reportmalut.com dan gerakan literasi pesisir yakni pembangunan rumah baca.
Satu di Kabupaten Kepulauan Sula, berdiri tahun 2019, dan yang terbaru di Kabupaten Halmahera Selatan tahun 2021 kemarin.
Media dan rumah baca hingga kini masih terus eksis dengan manajemen seadanya. Di mana salah satu rumah baca diurus oleh adik saya langsung, seorang kompasianer bernama Faisal Yamin.
Proses pencarian jati diri berakhir dengan genre Reportase. Itu seakan-akan menjadi kuat dalam diri. Dari situlah semua di mulai. Terhitung tahun 2020 beberapa artikel reportase dihasilkan.Â
Kenyamanan di repotase menguat seiring jalan. Kadang beberapa opini juga lahir namun selalu dalam konsep reportase.
Tantangan di reportase ialah investigas. Hingga tak jarang, konsep one day one artikel tak pernah tercapai. Investigasi hingga proses validasi primer kadang membutuhkan waktu. Sebuah kesulitan lebih lanjut ialah apakah mengangkat atau tidak mengangkat. Sementara harapan agar sebuah perkara diangkat terus menguat.
Ada begitu macam problem menggantui. Apalagi berkaitan dengan beberapa perkara semisal lingkungan dan kebijakan. Namun atas dasar kemanusian, hidup dan ekonomi, artikel tetap harus tertayang.
Kehidupan sosial bagi saya sangat menarik diangkat  sehingga kecenderungan artikel yang terproduksi banyak mengangkat sosok di manapun saya temui.
Belajar metode dan tantangan
Setahun belakangan menjadi sangat berat dalam memproduksi artikel. Kepergian orang tercinta menjadi asal muasal keterpurukan. Hingga tidak produktif menjadi sebuah keniscayaan.Â
Konten-konten di Kompasiana tak banyak terisis seiring pergantian bulan.Â
Belakangan saya mulai menemukan gairah untuk kembali produktif. Bahkan mulai sedikit mempelajari sebuah genre yakni Fiksi.Â
Itu dilakukan setelah buku yang sudah saya tulis namun belum dipublikasikan mendapat kritikan luar biasa. Kumpulan cerita dari artikel di Kompasiana ini saya kumpulkan satu persatu dan menjadi beberapa sub bab.Â
Kepercayaan diri yang tinggi rupanya tak berbuah manis. Buku yang saya banggakan isinya itu harus mendapat beberapa kali perombakan. Masalahnya adalah penerapan metode yang terutang didalamnya.
Dan saya adalah penganut tidak perlu memakai metode. Kepercayaan itu pada akhirnya luntur. Metode begitu sangat penting dalan semmuua kepenulisan.
Pada akhirnya, saya harus belajar lagi dari awal. Menemui beberapa rekan penulis bahkan sampai menuju Jawa Timur, tepatnya di Jember. Tentu semua perjalanan itu tidak sia-sia. Manfaat mulai terasa betapa metode adalah sebuah bab baru yang harus dihadirkan dalam hidup.
Kelana Masa Depan
Kompasiana bakal menjadi rumah bagi saya dalam menularkan setiap ide dan gagasan. Di 2023 nanti, terpatri niat untuk produktif mengisi artikel. Sebuah tantangan yang bagi saya bisa berhasil atau tidak.Â
Pun dengan beberapa buku yang kemungkinan harus dirampunhkan untuk diterbitkan.
Apapun itu, pada prosesnya saya berterima kasih atas segala kesempatan yang diberikan Kompasiana dan rekan-rekan kompasianer. Dukungan yang sangat berharga untuk terus memotivasi diri.
Di Kompasianival 2022 ini harapan selalu asa namun menang kala sebagai nomine adalah hal lumrah. Kalah berarti harus lebih giat lagi begitupun dengan menang. (Sukur dofu-dofu)
Mari dukung dan vote para nomine (https://kompasianival.kompasiana.com/awards)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H