Segala kegiatan ditingalkan. Setelah sholat Asar, ia akan berkeliling dari rumah ke rumah sesuai tujuan tuan rumah siapa yang diundang.
Dalam proses ini, ada etika yang dijunjung. Seorang pengundang tidak bisa berpakaian compang camping atau seadanya. Ia harus mandi, berdandan rapi, mengenakan celana panjang dan kameja hingga kopiah sebagai penutup kepala.
Ketika mengetuk atau menemui seseorang yang hendak diundang, adab dan tata bicara juga harus sesuai. Semisal salam dan salaman, pembukaan sampai menyampaikan tujuan dan pamit.
Undangan yang berhalangan hadir juga akan menyampaikan salam kepada pemilik rumah dengan bahasa dan sopan santun.
Tugasnya tidak selesai di situ. Ketika jam acara beberapa saat akan  dimulai misalnya jam 8. Maka tuan rumah akan mengingatkan agar ia stand by.
Di sini ada proses bernama sidola atau menemui kembali untuk mengingatkan. Ini dilakukan agar yang diundang tidak lupa.
Si pengundang akan melihat lebih dulu siapa yang sudah datang. Kekurangan yang belum datang itu utamanya sesepuh inti, akan langsung dijemput ke rumah.Â
Sidola ini juga berlaku untuk Siloloa. Maksud dan tujuannya tetap sama. Mengingatkan.
Bagi saya yang kadang juga menjadi andalan melakukan koro ketika berada di kampung, tradisi ini memiliki filosofi yang dalam. Yakni, menghargai dan memuliakan sesama manusia. Baik tetangga hingga keluarha jauh.
Hubungan manusia dalam kehidupan begitu sangat kompleks. Namun tradisi mempunyai jawaban-jawaban bagaimana membangun dan menguatkan hubungan.Â
Baik kota atau pun desa di Maluku Utara, tradisi ini masih sangat melekat kuat. Walau berbagai kemudahan mengundang orang sudah tersedia. Sebab, nilai dari tradisi ini jauh lebih tinggi yakni keihlasan, penghargaan, penghormatan kepada sesama.