Pagi masih terlalu dini bagi Tika. Ia bangun seiring kumandan adzan Subuh menggema dari toa Majid desa. Anak berusia 11 tahun ini menuju ruang tamu. Masih dengan kantuk yang menyerang. Antara sadar dan tak sadar.
Pintu depan sengaja di bukanya lebar-lebar. Dinginya udara bekas badai sore hingga pagi ini masih terasa menusuk. Masuk melalui pintu yang terbuka lebar.Â
Sore kemarin, angin kencang datang menerjang desa. Menumbangkan pohon-pohon penghalang alami di pantai hingga menerbangkan atap seng rumah warga. Laut ikut bergejolak. Gelombang-gelombang tercipta. Warga yang punya perahu disibukan dengan menarik perahu ke darat.Â
Malamnya, hujan  ambil jatah mengguyur deras. Membuat warga memilih berdiam diri di rumah. Menonton tv hingga tidur lebih awal.
Tika masih duduk di ruang tamu. Sesekali ia berlari ke teras rumah melihat-lihat siapa yang lewat. Lalu masuk lagi.Â
Beberapa menit berlalu, tiga anak seusia mereka datang memanggil-manggil dari luar pagar, Tika keluar lalu menginstruksikan agar menunggu sebentar.
Masuk lagi, ia menuju kamar. Membangunkan ibunya. Sebuah tas kresek sudah tergenggam. Plus baju kucel yang terkenakan dalam semenit.
Izin diperoleh. Berangkatlah mereka sebelum mentari pecah. Bersama  beberapa ibu-ibu desa ke dalam hutan. Menelusuri ribuan bahkan jutaan pohon pala di belakang kampung.Â
Angin disertai hujan semalam rupanya anugerah bagi ibu-ibu hingga anak-anak seperti Tika. Anugerah karena buah pala yang sudah matang banyak berjatuhan. Pun kenari hingga kelapa.
Jika sudah begini hutan dan kebun-kebun di dalamnya bakal ramai. Setiap dari mereka, baik Tika maupun ibu-ibu bahkan anak-anak kecil lelaki selalu berlomba masuk hutan lebih dulu.Â