Siapa cepat dia dapat. Siapa yang duluan masuk dan memungut bakal mendulang hasil yang banyak. Terlambat sedikit gigit jari.
Mereka bakal menelusuri pohon demi pohon pala dan kebun demi kebun. Buah pala yang jatuh akan diambil kemudian pindah lagi ke pohon. Buah pala yang sudah terpungut sudah menjadi milik mereka.
Pun dengan buah kenari atau kelapa. Sudah jadi aturan tak tertulis. Yang jatuh milik penemu. Aturan keras hanya satu, tidak boleh memetik atau memanen buah milik tuan kebun.
Sudah sering saya menyaksikan yang demikian. Anak-anak seperti Tika selalu kehutan jika hari libur tiba. Mencari pala guna dijual dan mendapatkan uang jajan. Tak tanggung-tanggung, mereka bisa meraup hingga 100-200 ribu rupiah jika sedang beruntung.
Sementara ibu-ibu, hampir setiap hari. Sebelum terbit matahari, para wanita desa ini sudah siap siaga. Terkadang berjalan dua sampai tiga orang perkelompok.
Mereka akan menyusuri kebun demi kebun lebih leluasa lagi. Pohon kenari, pala hingga kelapa di susuri satu-satu. Berpapun yang diperoleh itu yang dibawa pulang.Â
Tak jarang mereka sekaligus mencari sayur, seperti rebung, ganemo hingga daun pepaya. Itu mereka cari dalam setiap kesempatan. Juga, kayi bakar dan sumber perapian lain.Â
Semua hasil terisi penuh dalam wadah bernama saloy. Wadah dari anyaman daun pandan liar. Ibu-ibu ini akan pulang sebelum matahari benar-benar pecah di jam 9 atau 10 pagi.
Hasil pungut buah kenari dan pala biasa langsung dijemur. Sementara kelapa di kumpul terlebih dahulu. Tujuannya untuk membuat minyak kelapa jika sudah tercukupi.
Buah kenari dan buah Pala hasil pungut sering saya lihat dikumpulkan bersama dengan hasil panen kebun. Kadang jika hasil kebun belum di panen, buah hasil pungut inilah yang menjadi sumber uang untuk mengebulkan dapur atau membelikan sesuatu bagi anak-anak mereka.
Tak tanggung-tanggung pendapatan yang diraup. Dalam seminggu jika mereka full melakukan pemungutan buah pala atau kenari bisa menghasilkan lebih dari lima ratus ribu rupiah.